Tengku Haji Hasan Krueng Kalee, Aceh

Tgk.H.Hasan Kruengkale merupakan nama seorang ulama besar di Aceh. Beliau lahir pada tanggal 15 Rajab tahun 1303 H (18 April 1886) dalam pengungsian di Meunasah Ketembu, kemukiman Sangeue, kabupaten Pidie setelah tiga belas tahun peperangan dahsyat berkecamuk di Aceh antara prajurit kerajaan beserta rakyat Aceh dengan serdadu-serdadu agresor Belanda (A.Hasyimy, 1988). Tgk.H.Hasan Kruengkale dilahirkan disana sewaktu orang tuanya pindah dari Kutaraja(Banda Aceh sekarang) dalam rangka mempertahankan ide-idenya untuk memperjuangkan Islam dari cengkeraman kolonialisme penjajahan kafir Belanda.

Ketika dalam pengasingan tersebut, beliau belajar pengetahuan dasar agama langsung dari kedua orangtuanya sambil berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di daerah pengungsian. Dan setelah mempunyai pengetahuan dasar tentang agama Islam yang memadai, bahasa Arab, sejarah Islam dan lain-lain, pada tahun 1906 M, Tgk H.Hasan Kruengkalee yang telah menjadi remaja berangkat ke Yan, Keudah – Malaysia untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang telah beliau pelajari sebelumnya. Beliau dikirim kesana oleh ayahnya untuk melanjutkan pendidikannya di Dayah Yan yang pada waktu itu dipimpin oleh Tgk.H.Muhammad Arsyad, seorang ulama besar yang berasal dari Kerajaan Aceh Darussalam. Tgk.H.Muhammad Arsyad adalah teman pengajian ayahnya dulu sewaktu di Lamnyong. Selain itu, keberangkatan beliau ke Keudah juga atas dorongan Teuku Raja Keumala dan Tgk Syaikh Ibrahim Lambhuk. Disana beliau memperdalam ilmu pengetahuan selama beberapa tahun.

Dayah Yan di Keudah sudah sejak lama menjadi pusat pendidikan Islam di Semenanjung tanah Melayu. Para sultan Kerajaan Aceh Darusssalam mengirim ulama-ulama besar kesana untuk membangun dayah sebagai lembaga pendidikan utama untuk daerah-daerah Tanah Seberang. Setelah menamatkan studinya di Dayah Yan, Tgk H.Hasan Kruengkalee yang telah mempunyai pengetahuan agama dan bahasa arab yang cukup, atas persetujuan gurunya pada tahun 1910 berangkat ke tanah suci dalam rangka menunaikan Ibadah H. serta untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi pada pusat pendidikan Islam di Masjidil Haram Makkah. Disana beliau belajar selama lima tahun, dan yang menjadi gurunya merupakan ulama-ulama besar yang menjadi masyaikh (para guru besar) dalam Masjidil Haram dan sangat terkenal di kota Mekkah. Diantara guru-guru beliau tersebut adalah Syaikh Said Al-Yamani Umar bin Fadil, Syaikh Khalifah, Syaikh Said Abi Bakar Ad-Dimyaty dan Syaikh Yusuf An-Nabhany dan sebagainya.

Setelah menempuh pendidikan sekitar enam tahun di Mekkah, Tgk H.Hasan Kruengkalee pulang ke tanah air. Sekembali beliau tersebut pada tahun 1916 beliau langsung mengambil alih pimpinan Dayah Kruengkalee yang sejak peperangan dengan Belanda tidak terurus lagi. Dengan semangat baru yang dihasilkan dari pendidikan selama bertahun-tahun di Mekkah dan didorong oleh jiwa mudanya Tgk.H.M.Hasan Kruengkalee membangun kembali Dayah tersebut. Dalam waktu singkat, Dayah Kruengkalee telah berubah menjadi pusat pendidikan agama Islam terbesar di Aceh sejajar dengan nama-nama besar lainnya seperti; Dayah Tanoh Abee, Dayah Lambirah, Dayah Rumpet, Dayah Jeureula, Dayah Indrapuri, Dayah Pante Geulima, Dayah Tiro dan Dayah Samalanga,(Shabri A, dkk, Biografi Ulama-Ulama Aceh Abad XX, (Banda Aceh: Dinas Pendidikan Prop.NAD, 2007), hal. 6).

Dalam perkembangan kemudian, Tgk H.Hasan Kruengkalee melalui Dayah yang dikelolanya telah berhasil mencetak banyak kader-kader da’i, pendidik, ulama dan pemimpin umat yang sangat berjasa bagi rakyat Aceh, baik sebagai pembimbing mereka dengan nilai-nilai agama, maupun sebagai pimpinan masyarakat atau sebagai komando dalam jihad fisabilillah melawan agressor Belanda ketika itu. Sebagai lembaga pendidikan Islam, dayah Kruengkalee ini pada dasarnya lebih banyak berperan dibandingkan dengan lembaga pendidikan formal lainnya seperti sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada waktu itu. Sekolah pada waktu itu tidak sanggup mengemban tugas untuk menampung semua lapisan masyarakat, karena ketentuan yang digariskan penjajah Belanda yang membatasi kesempatan bersekolah bagi masyarakat luas atas dasar kepentingan penjajah Belanda.

Menurut berbagai catatan sejarah, sebagian besar ulama-ulama besar generasi tua di Aceh saat ini tercatat pernah menimba ilmu kepada beliau. Mereka tersebar di seantaro Aceh menjadi mercusuar dalam lapangan khazanah keilmuan Islam.

Diantara ulama-ulama dari murid-murid Tgk H. Hasan Krueng Kalee, yang cukup terkenal di daerahnya masih masing antara lain dapat disebutkan: Tgk Ahmad Pante, ulama dan imam masjid Baiturrahman Banda Aceh, Tgk Hasan Keubok, ulama dan Qadhi XXVI mukim di Aceh Besar, Tgk M. Saleh Lambhouk, ulama dan imam masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Tgk Abdul Jalil Bayu, ulama dan pemimpin dayah Al-Huda Aceh Utara, Tgk Sulaiaman Lhoksukon, ulama dan pendiri dayah Lhoksukon, Aceh utara, Tgk M. Yusuf Peureulak, ulama dan ketua majlis ulama Aceh Timur, Tgk Mahmud Simpang Ulim, ulama dan pendiri dayah Simpang Ulim, Aceh Timur, Tgk H. Muda Waly Labuhan H., ulama dan pendiri dayah Darussalam, Labuhan Haji Aceh Selatan, Tgk Syeh Mud Blang Pidie, ulama dan pendiri dayah Blang Pidie Aceh Selatan, Syeh Shihabuddin, ulama dan pendiri dayah Darussalam Medan, Sumatera Utara, Kolonel Nurdin, bekas Bupati Aceh Timur, yaitu anak angkat beliau sendiri, Tgk Ishaq Lambaro Kaphee, ulama dan pendiri dayah Ulee Titie(Fauziah, 1988).

Murid-murid beliau tersebut pada umumnya mengikuti jejak gurunya, menjadi ulama yang membuka dayah di tempat mereka masing-masing hampir ke seluruh pelosok nanggroe Aceh.

Selain itu, disamping memimpin Dayah Kruengkalee dan usahanya mencetak ulama Aceh pewaris para Nabi, beliau juga termasuk salah seorang putra Aceh yang ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, beliau juga pernah menjadi anggota konstituante Republik Indonesia dari partai Islam Perti. Tgk H.Hasan Kruengkalee juga pernah mengeluarkan fatwa tentang seruan jihad fi sabilillah untuk melawan Belanda pada tanggal 15 Oktober 1945, dalam rangka mempertahankan Negara Republik Indonesia yang ditangani oleh beberapa ulama Aceh lainnya, diantaranya oleh Tgk H.Hasan Krueng Kalee, Daud Beureueh, Tgk Ja’far Lamjabat dan Tgk H.Ahmad Hasballah Indrapuri, keempat ulama besar Aceh tersebut mengeluarkan fatwa bahwa berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia adalah perang sabil dan kalau mati hukumnya mati syahid. (Prof. A. Hasjmy, Para Pejuang Kemerdekaan yang Mendukung Pancasila dan Memusuhi Komunisme, hal. 448).

Himbauan jihad diatas, telah menggerakkan masyarakat tampil ke medan perjuangan di tanah Aceh untuk merebut kemerdekaan dan mempertahankannya. Dengan adanya fatwa tersebut diatas, rakyat Aceh telah berjuang selama tahun-tahun dengan revolusi fisik, sehinnga tanah Aceh terbebas dari penjajahan Belanda. Mereka umumnya tergabung dibawah berbagai wadah organisasi perjuangan, misalnya Pusa, pemuda Pusa, kasyafatul Islam, Muhammaddiyah, Pemuda Muhammaddiyah, Perti, Permindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), maupun organisasi-organisasi Islam lainnya. Para pemuda yang telah dibina iman dan semangat jihadnya dalam madrasah-madrasah dan dayah bersama-sama rakyat Aceh lainnya ikut berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaan.

Pada masa itu pula beliau mempersiapkan alat-alat serba mungkin, untuk menghadapi pemberontakan yang terjadi di beberapa tempat diantaranya pemberontakan Bayu di Lhokseumawe tahun 1944 di Lhokseumawe, yang dipimpin oleh salah seorang murid beliau yaitu Tgk Abdul Jalil Bayu dan penyerbuan Blang Bintang untuk melawan Jepang yang menjelang Indonesia merdeka, yang menjadi pimpinannya adalah beliau sendiri. Semua pergerakan yang terjadi baik pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang terutama pemberontakan yang dipimpin oleh murid-murid beliau adalah atas anjuran beliau sendiri.
Selengkapnya..

Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari, Kalimantan Selatan

Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari (atau lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (lahir di Lok Gabang, 17 Maret 1710 - meninggal di Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun atau 15 Shofar 1122 - 6 Syawwal 1227 H)[1] adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Beliau hidup pada masa tahun 1122-1227 hijriyah. Beliau mendapat julukan anumerta Datu Kelampaian.

Beliau adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.[2]

1. Silsilah keturunan
Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq, berpendapat bahwa ia adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao.

Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin
Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.

Masa kecil

Diriwayatkan, pada waktu Sultan Tahlilullah (1700 - 1734 M) memerintah Kesultanan Banjar, suatu hari ketika berkunjung ke kampung Lok Gabang. Sultan melihat seorang anak berusia sekitar 7 tahun sedang asyik menulis dan menggambar, dan tampaknya cerdas dan berbakat, dicerita-kan pula bahwa ia telah fasih membaca Al-Quran dengan indahnya. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut.Hasil perkawinan tersebut ialah seorang putri yang diberi nama Syarifah.

Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.

Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.

Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru beliau adalah Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.

Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.

Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang di arak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu.

Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.

Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’. Selama hidupnya ia memiliki 29 anak dari tujuh isterinya.
3. Hubungan dengan Kesultanan Banjar

Pada waktu ia berumur sekitar 30 tahun, Sultan mengabulkan keinginannya untuk belajar ke Mekkah demi memperdalam ilmunya. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh Sultan. Lebih dari 30 tahun kemudian, yaitu setelah gurunya menyatakan telah cukup bekal ilmunya, barulah Syekh Muhammad Arsyad kembali pulang ke Banjarmasin. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah.

Sultan Tahmidullah II yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah yang meminta kepada Syekh Muhammad Arsyad agar menulis sebuah Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kelak kemudian dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin.
4. Pengajaran dan bermasyarakat

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar.

Di samping mendidik, ia juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk keperluan murid-muridnya serta keperluan kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh Kerajaan Banjar tapi sampai ke-seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam.
5. Karya-karyanya

Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam terjemahan bebas adalah "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk keperluan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, diantaranya ialah:

Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh,
Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat,
Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata.

Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk mana biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
Selengkapnya..

Syekh Musthafa Husein Nasution, Sumatra Utara

Syaikh Musthafa Husein Nasution atau Muhammad Yatim adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara dari pasangan Husein dan Halimah. Beliau lahir di Desa Tano Bato pada tahun 1303/1886. Sebelum beliau mengembara ke Makkah dalam rangka menuntut ilmu agama, beliau dibimbing oleh Syekh Abdul Hamid Hutapungkut Julu selama kurang lebih tiga tahunan. Atas bimbingan Syaikh Abdul Hamid inilah muncul semangat pada diri Muhammad Yatim (Syekh Musthofa) untuk memperdalam ilmu agamanya di Makkah.

Setelah lima tahun di Makkah beliau sempat berkeinginan untuk berpindah belajar di mesir, tetapi keinginan itu beliau gagalkan karena banyaknya orang-orang yang menasehatinya agar tetap dan istiqomah belajar di Makkah. Beliau-pun akhirnya mantap dan berkonsentrasi untuk terus belajar di Masjidil Harom di dalam bimbingan ulama-ulama terkemuka. Diantaranya adalah, Syekh Abdul Qodir al-Mandily, Syekh Ahmad Sumbawa, Syekh Sholeh Bafadlil, Syekh Ali Maliki, Syekh Umar Bajuned, Syekh Ahmad Khothib Sambas dan Syekh Abdur Rahman.

Setelah kembali ke Tanah Air, beliau getol memperjuangkan Islam ‘alaa Ahlissunnah wal Jama’ah dengan berda’wah kepada masyarakat dan mendirikan Pondok Pesantren sebagai tempat belajar anak-anak bangsa yang akhirnya pondok pesantren tersebut di kenal dengan Pondok Pesantren Musthofawiyah atau lebih dikenal dengan Pesantren Purba yang mempunyai hampir 10 ribu santri dari berbagai suku dan propinsi di Indonesia bahkan dari negara tetangga Malaysia.

Syekh Musthafa Husein Nasution ini sangat gigih dalam mengembangkan fiqh ‘alaa madzhab Imam Syafi’i. Hal ini dapat di lihat dari Pesantren beliau sekarang ini yang masih mempertahankan tradisi-tradisi pesantren yang sudah sejak awal telah dirintis dan ditekankan oleh beliau. Mulai dari paham keagamaan, kitab-kitab yang dipelajari, hingga dengan cara berpakaian dan tempat tinggal santri. Dalam ilmu fiqh, kitab-kitab yang dipelajari seperti Matan Ghayah Wa Taqrib, Hasyiijah Bajuri, Hasyiyah asy-Syarqawi dan lain-lain. Dalam bidang aqidah, kitab-kitab yang dipelajari seperti Kifayatul Awam, Hushnul Hamidiyyah, Hasyiyah Dusuki Ala Ummil-Barahin dan lain-lain. Saduran bebas dari Risalah NU.
Selengkapnya..

Syekh Muhammad Zainuddin Al Baweyani

Kelahiran dan pertumbuhan beliau

Syeikh Muhammad Zainuddin di lahirkan pada tahun 1334 hijriyah, dengan begitu beliau lebih tua satu tahun dari Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani yang lahir pada tahun 1335 hijriyah.

Beliau di besarkan oleh kedua orang tuanya dan tumbuh membesar di kalangan masyarakat yang penuh dengan agama, sehingga jiwa dan raganya di serahkan untuk beribadah dan menutut ilmu semata, tidak berbeda dengan anak-anak yang lain beliau juga memasuki maktab al-Qur`an untuk belajar al-Qur`an dan tajwidnya,

Pendidikkan beliau

Setelah belajar dasar-dasar agama maka beliau memulai memasuki bangku sekolah secara Formal , mka beliau memasuki madrasah al-Fakhriyyah sehingga berhasil menamatkan pendidikkannya di sekolah tersebut, kemudian beliau melanjutkan pendidikkannya ke jenjang yang lebih tinggi, sekolah yang beliau pilih sebagai lanjutan pendidikkannya adalah Madrasah Solatiyyah al-Hindiyyah yang ketika itu telah banyak mencetak ulama-ulama besar, diantara ulama-ulama Indonesia yang telah berhasil menamatkan pengajiannya di Solatiyah dan menjadi ulama besar sebelum masa Syeikh al-Baweyani adalah Syeikh Hasyim Asy`ari pendiri Nahdhtul Ulama, Syeikh Musthafa Husein pendiri Pondok pesantren Musthafawiyah, dan banyak lagi.

Beliau memulai memasuki bangku sekolah Madrasah Solatiyyah pada tahun 1351 hijriyah, ketika itu umur beliau masih beranjak tujuh belas tahun, tetapi kebijakkan beliau membuat beliau berhasil menghabiskan pengajiannya dengan secara singkat, sehingga pada tahun 1353 hijriyah beliau berhasil menamatkan pengajiannya.

Di samping pendidikkannya secara formal, beliau juga mengikuti pendidikkan non formal di Masjid al-Haram dan di rumah-rumah ulama yang berada di Makkah, diantara pengajian yang beliau ikuti adalah pengajian Syeikh Muhammad Amin al-Kutubi, Syeikh Hasan Fad`aq, dan Syeikh Umar Hamdan al-Mahrisi, aktivitas beliau selalu di isi dengan berbagai kegiatan yang berguna untuk agamanya.

Syeikh Zainuddin juga memiliki suara yang sangat merdu sehingga mampu memukau para pendengarnya, qasidah-qasidah yang beliau selalu lantunkan mampu menyerap perasaan orang, sehingga beliau selalu melantunkan qasidah memuji-muji Nabi di pengajian Syeikh Amin al-Kutubi, hal ini membuat beliau di senangi banyak orang.

Pekerjaan dan kegiatan beliau

Setelah Syeikh Zainuddin berhasil menamatkan pendidikkannya di Madrasah Solatiyah, maka beliau beserta Syeikh Sayyid Muhsin al-Musawa al-Palembani dan kawan-kawannya mendirikan madrasah Darul Ulum , sekolah ini merupakan madrasah pertama untuk anak-anak pendatang dari Nusantara, dan sebagai bentuk dari protes pelajar-pelajar Nusantara terhadap Madrasah Solatiyah .

Di madrasah Darul Ulum ini beliau mengajar dan mendidik pelajar-pelajar yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Fathoni, dan lain-lainya, Madrasah Darul Ulum terus berjaya mendidik dan mengeluarkan banyak ulama, di samping karena para tenaga pengajarnya yang hebat dan alim, kecemerlangan ini sampai kepada masa Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani, yang mana banyak diantara ulama di dunia yang singgah ke Madrasah ini untuk mengambil riwayat hadis dari Syeikh al-Fadani, namun setelah Syeikh al-Fadani meninggal dunia maka madrasah ini terus di bekukkan oleh pemerintah, dan namanya hanya tinggal di dalam kitab sejarah saja.

Di samping itu Syeikh Zainuddin juga mengadakan lawatan untuk berjumpa para ulama dan mengambil ijazah ammah dari mereka, diantara negara yang pernah beliau kunjungi adalah Yaman dan Indonesia, sehingga didalam perjalanan ini beliau banyak mendapat sanad-sanad yang tinggi dan faedah yang banyak.

Ulama-ulama yang memberikan ijazah ammah :

Syeikh Muhammad Zainuddin al-Baweyani mendapat banyak ijazah ammah dari ulama-ulama besar di dunia ini , diantara ulama-ulama yang telah memberikan ijazah ammah adalah :

1 - Syeikh Muhammad Amin al-Kutubi al-Makki.
2 - Syeikh Sayyid Ahmad al-Abutiji.
3 - Syeikh Hasan as-Sya`ir.
4 - Syeikh Muhammad Ibrahim al-Mulla.
5 - Syeikh Ibrahim bin Muhammad Khair bin Ibrahim al-Ghulayaini.
6 - Syeikh Habib Hamid bin Abdul Hadi bin Abdullah bin Umar al-Jailani .
7 - Syeikh Sayyid Muhammad bin Hadi as-Saqaf.
8 - Syeikh Muhammad Abdul Hayy al-Kattani .
9 - Syeikh Muhammad Ali bin Husein al-Maliki.
10 - Syeikh Abdul Qadir bin Taufiq al-Syalabi.
11 - Syeikh Umar Hamdan al-Mahrisi.
12 - Syeikh al-Habib Abdurrahman bin Ubaidillah as-Saqaf.
13 - Syeikh al-Habib Alawi bin Thohir al-Haddad.
14 - Syeikh al-Habib Abdullah bin Thohir al-Haddad.
15 - Syeikh Muhammad Abdul Baqi al-Ayyubi al-Laknowi.
16 - Syeikh Muhammad bin Muhammad Idris Ahyad al-Bogori.
17 - Syeikh Baqir bin Muhammad Nur al-Jogjawi.
18 - Syeikh Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki.
19 - Syeikh Habib Aidrus bin Salim al-Baar.
20 - Syeikh Sayyid Muhsin bin Ali al-Musawa al-Falimbani.
21 - Syeikh HUsein bin Abdullah bin Hasan bin Ahmad Aidid....
22 - Syeikh Khalifah bin Hamad bin Musa bin Nabhan an-Nabhani al-Bahraini.
23 - Syeikh Soleh bin Muhammad bin Abdullah Idris al-Kelantani.
24 - Syeikh Ahmad bin Abdullah al-Baar.
25 - Dan lain-lain.

Diantara hasil karya beliau adalah :

1 - al-Fawaidu az-Zainiyyah Ala al-Manzumati ar-Rahbiyyah.
2 - Faidhul Mannan Fi Wajibati Hamili al-Qur`an.
3 - al-Ulumu al-WAhbiyyah Fi Manazili al-Qurbiyyah.
4 - Ghayatu as-Sul Liman Yuridu al-Ushul Ila Barri al-Usul.
5- Musyahadatu al-Mahbub Fi Tathhiri al-Qawalibi Wa al-Qulub.
6 - Ghayatu al-Wadad Fima Li Haza Wujudi Mina al-Murad.

Diantara murid-murid beliau adalah :

1 - Syeikh Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas bin Abdul Aziz al-Maliki al-Makki, beliau mendapat ijazah Syeikh Muhammad Zainuddin al-Baweyani seminggu sebelum wafatnya beliau, setelah berulang-ulang kali meminta dan memohon akhirnya Syeikh Baweyani memberikan ijazah tersebut, Sayyid Muhammad Alawi sepertinya enggan menghembuskan nafas terakhir sebelum mendapatkan ijazah ammah dari Syeikh Baweyan, sebab sebelum wafatnya Syeikh Muhammad Alawi Maliki beliau memesankan agar murid-muridnya yang di Indonesia datang Umrah bulan Ramadhan, karena beliau telah mengetahui waktu ajalnya telah tiba pada hari yang mulai, bulan yang mulia, dan di tempat yang mulia pula.

2 - Syeikhuna Sayyid Nabil bin Hasyim Ala Ghamri as-Syafi`i al-Makki, beliau mendapatkan ijazah Syeikh Muhammad Zainuddin Baweyani sebulan sebelum kewafatan Syeikh Muhammad Zainuddin, dan Syeikh Baweyani berpesan kepada beliau : " Siapa diantara kita yang terlepas dari azab neraka maka hendaklah dia menolong temannya " . demikianlah ketawadukkan Syeikh Zainuddin, syukurlah Syeikh Muhammad Alawi dan Syeikh Nabil mendapatkan ijazah dari beliau sehingga berambung sanad kita kepada Syeikh Muhammad Zainuddin al-Baweyani al-Indonesi al-Makki.

Syeikh Muhammad Zainuddin al-Baweyani al-Indonesi al-Makki meninggal dunia pada tahun 1426 hijriyyah, jenazah beliau di shalatkan di Masjid Haram Makkah dan di kuburkan di perkuburan Ma`la, semoga Allah memberikn rahmat yang luas kepadanya.
Selengkapnya..

Syekh Abdul Halim Khatib Al Mandaili, Sumatra Utara

NAMA LENGKAP DAN TAHUN LAHIR

Nama beliau adalah al-Alim al-Faqih Syeikh Abdul Halim bin Ahmad Khatib al-Purbawi al-Mandili as-Sumatri as-Syafi`i al-Asy`ari.

Beliau di lahirkan pada tahun 1899 masehi.

Dari kecilnya beliau memiliki sifat yang rajin dan ta`at beragama, ditambah lagi pengaruh lingkungan yang menjamin pertumbuhan anak-anak menuju kepada kesadaran akan arti pentingnya beragama, daerah Mandailing memang memiliki ulama-ulama besar yang sampai terdengar nama mereka di belahan dunia, didaearah inilah lahirnya Syeikh Abdul Qadir bin Sobir al-Mandaili, Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib al-Mandaili, Syeikh Musthafa Husein al-Mandaili, sebab itulah tak heran jika Mandailing di juluki serambi Mekkahnya Sumatra Utara.

BELAJAR DI PURBA BARU

Setelah beranjak besar, Syeikh Abdul Halim dimasukkan oleh orang tuanya ke pondok pesantren Musthafawiyah di Purba Baru, di pondok ini beliau diasuh langsung oleh Syeikh Musthafa Husein Nasution yang merupaka ulama besar dan tersebut namanya didalam kitab " Jawahiru al-Hisan " karangan Syeikh Zakaria Bila al-Makki, asuhan dan keberkatan beliau merupakan salah satu sebab berhasilnya Syeikh Abdul Halim memahami ilmu agama, disamping itu beliau memiliki kerajinan yang besar untuk menuntut ilmu agama, kemana beliau pergi selalu membawa kitab untuk di baca, kewarakan dan kepintaran beliau membuat Syeikh Musthafa Husein bertamabah senang dan cinta kepadanya, sehingga masyarakat Mandailing menyebutkan bahwa beliau adalah "Tuan Naposo" ( tuan guru muda ) sementara Syeikh Musthafa Husein di gelar dengan "Tuan natobang" ( tuan guru tua ).

BERANGKAT KE MAKKAH

Seteleh berhasil menamatkan pelajarannya di pondok pesantren Musthafawiyah, datanglah keinginan beliau untuk menyambung pendidikannya ke Makkah al-Mukarramah, karena ketika itu banyak sekali orang-orang Indonesia khusunya dari daerah Mandailing yang melanjutkan pendidikanya ke Makkah Mukarromah, Allah pun memudahkan beliau untuk menuntut ilmu di tanah haram, sehingga akhirnya beliau sampai ke tanah suci, melaksanakan haji dan ziarah ke makam Rasulullah s.a.w. di Madinah kemudian kembali ke Makkah untuk menuntut ilmu disana.

Di Makkah banyak terdapat majlis-majlis pengajian terutama halaqah-halaqah pengajian di Masjid Haram, para syeikh-syeikh besar telah memiliki tempat khusus untuk mengajar murid-muridnya, di Masjid Haram juga banyak terdapat ulama-ulama Nusantara yang mengajar ilmu agama, terlebih lagi ketika itu Madrasah Solatiyah yang merupakan lembaga pendidikkan yang pertama sekali di Saudi Arabiya sedang mendapat perhatian yang besar sekali dari para pelajar, Raja Fahad bin Abdul Aziz mengatakan bahawa dia bangga karena di negaranya terdapat al-Azhar yang kedua yang memiliki sistem yang teratur, ini tidak terlepas dari usaha Syeikh Rahmatullah al-Hindi untuk membangun as-Solatiyah agar memiliki sistem seperti al-Azhar.

GURU-GURU BELIAU

Kesempatan emas ini tidak dibuang begitu saja oleh Syeikh Abdul Halim Khatib, waktunya terus di pergunakan untuk menuntut ilmu dan bermuzakarah, kesibukkan-kesibukkan duniawi beliau tinggalkan agar perhatiannya tertumpu kepada pengajian dan ilmu, teman-teman beliau pun ketika itu memiliki semangat yang sama, sehingga tidak mengherankan jika dahulunya banyak ulama-ulama Indonesia yang mengaji di Makkah mampu mengarang kitab-kitab besar dalam berbagai desiflin ilmu dengan mengunakan bahasa arab, lihat saja seperti Syeikh Muhammad Nawawi al-Banteni, beliau digelar dengan " al-Allamah al-Hijaz " ( orang yang teramat alim di negeri Hijaz - red ), beliau memiliki karangan yang banyak dengan mengunakan bahasa arab, Syeikh Muhammad Mahfuz bin Abdullah Tarmasi digelar dengan "Muhaddis" memiliki banyak karangan dengan bahasa arab, Syeikh Ahmad Khatib al-Mankabawi juga memiliki buah karya dengan berbahasa arab, dan banyak lagi ulama-ulama dahulu yang benar-benar menumpukan perhatiannya kepda pengajian di Makkah sehingga mampu duduk sama rata berdiri sama tinggi dengan para ulama-ulama yang berasal dari negeri arab sendiri.

Diantara guru-guru beliau adalah :

1 - Syeikh Sayyid Abbas bin Abdul Aziz al-Maliki ( kakek Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki - red ), beliau merupakan ulama besar dan terkenal, kakek beliau berasal dari Maroko, kemudian keluarganya pindah ke Hijaz ( Makkah - red ).

2 - Syeikh Qadhi Hasan Masaath al-Maliki al-Makki, beliau merupakan ulama besar yang alim, memiliki banyak hasil karya, disegani oleh pemerintah ketika itu.

3 - Syeikh Muhammad Abdul Muhsin bin Muhammad Amin Ridhwan al-Madani, beliau di juluki Syeikh " Dala`ilul Khairat " di Madinah menggantikan kedudukan ayahandanya Syeikh Dala`ilul Khairat Sayyid Muhammad Amin Ridhwan.

4 - Syeikh Abdul Qadir bin Sobir al-Madaili al-Makki, merupakan ulama besar yang mengajar di Masjid Haram Makkah, dari beliau ini Syeikh Abdul Halim banyak mempelajari ilmu fiqih.

5 - Syeikh Zakaria bin Abdullah bila, merupakan ulama besar yang aktif didalam mengajar dan menulis, beliau lebih muda dari Syeikh Abdul Halim sepuluh tahun, menceritakan kepada kami maha guru kami Syeikh Ibrahim Zannun Lubis al-Mandaili bahwa Syeikh Abdul Halim pernah menuntut ilmu dari Syekh Zakaria, dan Syeikh Zakaria memuji Syeikh Abdul Halim dengan sebutan beliau adalah orang yang wara`, Syeikh Zakaria ini merupakan orang Jawi ( Nusantara -red) yang paling fasih dalam berbahasa arab sebagaimana yang ditutur oleh Syeikh kami Muhaddis masa kini Syeikh Mahmud Said Mamduh al-Qahiri.

PULANG KE TANAH AIR DAN MENEBARKAN ILMU

Akhirnya ibu pertiwipun memanggil beliau untuk kembali menebarkan ilmunya di kampung halaman, dengan rasa suka cita beliau meniggalkan tanah haram yang penuh dengan keberkatan, akhirnya Musthafawiyah tempat beliau mengembangkan ilmunya, kegigihan dan keikhlasannya membuat para guru dan murid sangat mencintai beliau, sehingga pada akhirnya beliau diangkat menjadi Ro`isul Mu`allimin ( kepala sekolah -red ), kehidupan beliau hanya dihabiskan untu mendidik bangsa dan ummat sehingga sampai lanjut usia, ilmu beliau memang sangat luas, sehingga menjadi rujukkan masyarakat mandailing dan sekitarnya, beliau memiliki banyak kefakaran, tetapi lebih cendrung kepada ilmu fiqih dan taswuf, tasawufnya mengalir didalam amalannya sehari-hari, kewara`annya sebagai bukti kuatnya beliau memegang tali-tali syari`at.

WAFATNYA BELIAU

Setelah menghabiskan masa dan umurnya untuk menyampaikan ilmu kepada umat, sehingga beliau lanjut usia dan tak berdaya dipapah dan di dorong dengan kursi roda, sampai akhirnya beliau menutup mata memenuhi panggilan Allah yang maha kuasa pada 21 Januari 1992 masehi, menutup usia 93 tahun, ummat menangis, para pelajar menjadi sedih, para ulama merasa kehilangan seorang figur yang mereka jadikan panutan, tanah Mandailing kehilangan putranya yang terbaik, seorang ulama kharismatik tumpuan ummat dan bangsa, memiliki karomah yang nyata, memiliki kehidupan yang sederhana, ribuan orang ikut menyembahyangkan dan mengiringi jenazah beliau, untuk di kuburkan di tempat peristirahatan terakhir, disebelah gurunya yang telah lama meninggalkannya berhampiran dengan makan pendiri Musthafawiyah Syeikh Musthafa Husein di Purba Baru.
Selengkapnya..

Syekh Abdul Qadir bin Tholib Al Mandili, Sumatra Utara

Mandaliling merupakan tempat terbit banyaknya ulama-ulama yang hebat dan handal, diantara ulama tersebut adalah Syeikh Abdul Qadir binTolib ulama besar yang terkenal di Makkah dan di semenanjung melayu, Ada di kalangan kita yang tidak mengetahui dari kalangan ulama Mandailing yang bernama Abdul Qadir banyak, tetapi yang terkenal ada dua orang ulama, seorang yang lebih terkenal di Makkah dan Indonesia, sementara seorang lagi lebih terkenal di Malaysia.

Yang sangat terkenal di Makkah adalah tuan guru Syeikh Abdul Qadir bin Sobir al-Mandili yang pernah mengajar di Masjid haram Makkah, beliau adalah guru dari seluruh ulama besar Nusantara, diantara murid beliau Syeikh Musthafa Husein al-Mandili ( pendiri Musthafawiyah tahun 1912 M), Syeikh Abdul Halim bin Ahmad Khathib al-Mandili, Syeikh Abdurrahim Perak, Syeikh al-Habib Abdullah Mufti Syafi`iyyah Perak Ipoh, Syeikh Muhammad Ali Kuala kangsar, Syeikh Zainuddin Bila, Syeikh Zainuddin al-Palembani, Syeikh Muhammad Ja`far Abdul Wahab, Syeikh Hasan Maksum Medan Deli, Syeikh Daud bin Mahmud al-Jawi, Syeikh Abdul Lathif Mantu`, Syeikh Utsman Tegal, Syeikh Muhammad Husein al-Palembani al-Makki, Syeikh Muhsin al-Musawa al-Palimbani al-Makki, Syeikh Sleh bin Muhammad Idris al-Kelantani al-Makki dan yang lain-lainnya.

Sementara Syeikh Abdul Qadir yang sangat terkenal di Malaysia adalah Syeikh Abdul Qadir bin Tolib al-Mandili.

Kelahiran dan asal usul beliau

Syeikh Saya Buya Ibrahim Zannun al Mandaili berkata : Syeikh Abdul Qadir bin Tolib dilahirkan di desa Sigalapang di daearah Penyabungan Kabupaten Mandailing Natal Sumatra Utara Indonesia, sementara Syeikh Abdu Qadir bin Sobir al-Mandili di lahirkan di Huta Siantar Penyabungan Mandailing Sumatra Utara.

Syeikh Abdul Qadir bin Tolib di lahirkan pada tahun 1329 Hijriyah, masa kanak-kanak dihabiskan di kampung halamannya, ketika itu beliau layaknya seperti anak-anak mandailing yang sibuk dengan mengaji al-Qur`an dan belajar agama islam, Mandailing mrupakan basis islam yang kuat dan patuh dengan agama sehingga mempengaruhi kejiwaan Syeikh Abdul Qadir al-Mandili.

Merantau ke Malaysia

Merantau ke Malaysia bukan hanya banyak terdapat pada zaman sekarang ini, bahkan sejak zaman dahulu penduduk Sumatra sudah banyak yang merantau dan berhijrah ke negeri Malaysia, diantara salah satu sebab banyaknya penduduk Sumatra yang berhijrah ke Malaysia adalah karena penduduk Pulau Sumatra berkependudukan melayu, dari kerajaan Langkat sampai kerajaan Palembang adalah kerajaan melayu dan berbahasa melayu, dahulu orang-orang melayu Sumatra sangat memiliki hubungan kuat dan erat dengan orang melayu Malaysia sebab itulah perpindahan dan berhijrah banyak terjadi, bahkan hubungan perkawinan pun banyak terjadi.

Diantara penduduk pulau Sumatra yang banyak juga berhijarah ke negeri Malaysia adalah orang-orang Mandailing, sebahagian meraka ada yang ingin mencari penghidupan, sebahagiannya lagi ingin mencari ilmu agama, keberanian warga Mandailing yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari ilmu membuahkan hasil yang cukup membanggakan, sehingga Mandaling banyak melahirkan ulama-ulama besar dan para intelektual yang handal.

Ketika usia Syeikh Abdul Qadir menanjak dewasa beliau berhijrah menuju Malaysia, di Malaysia beliau belajar agama dari ulama-ulama besar negeri Kedah, beliau begitu giat sekali mencari ilmu, demikian juga ketekunannya dalam beribadah.

Berhijrah ke Makkah

Pada tahun 1355 hijriyah Syeikh Abdul Qadir berangkat menuju Makkah al-Mukarramah untuk menunaikan manasik haji, setelah menunaikan haji Fardhu beliau berniat untuk bermukim di Makkah al-Mukarramah agar dapat belajar dengan ulama-ulama besar yang berada di Makkah, pada masa dulu Makkah masih sebagai pusat pengajian para ulama- ulama Nusantara, sehingga banyak diantara pemuda-pemuda di Nusantara yang ingin menghabiskan masa mudanya di Makkah untuk menuntut ilmu, pengajianpengajian agama begitu berkembang pada saat itu, halaqah-halaqah pengajian di penuhi oleh para pelajar.

Syeikh Abdul Qadir tidak mau ketinggalan untuk menuntut ilmu juga di Makkah, dengan tekad yang bulat beliau menghadiri dari berbagai macam pengajian, dari mulai Tauhid, Tasauf, Fiqih, Hadis dan yang lainnya, tetapi perhatian beliau kepada ilmu tasauf sangat besar sekali, sehingga beliau berusaha untuk belajar dan menerapkannya didalam kehidupannya sehari-hari.

Diantara guru-guru beliau di Makkah adalah Syeikh Muhammad Ali al-Maliki, Syeikh Umar Hamdan Mahrusi, Syeikh Hasan bin Muhammad Masyat, Syeikh Ismail al-Fathoni dan Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani.

Pengajian beliau di Makkah

Setelah para ulama Makkah melihat kemampuan dan keilmuan Syeikh Abdul Qadir, maka beliau pun di beri izin untuk mengajar di masjid haram Makkah, beliau berusa untuk dapat memberikan pemahaman yang mudah kepada par murid-muridnya, hampir disiflin ilmu beliau ajar di Masjid al-Haram, dari muali Nahu, Sorof, Hadis, Musthalah Hadis, Tafsir, Fiqih Syafi`i dan lainnya.

Murid-murid beliau tidak pernah sunyi, halaqah beliau senantiasa di penuhi, tidak pernah kurang dari dua ratus pelajar, beliau mampu menarik perhatian para pelajar dengan keilmuan danke ahliannya, para pelajar sangat senang sekali dengan cara mengajar beliau, sehingga mudah untuk di fahami, beliau salah satu ulama Nusantara yang tidak lahir di Makkah tetapi mengajar di Masjid al-Haram Makkah.

Wafatnya Syeikh Abdul Qadir

Pada tanggal 20 Rabi`ul Awwal tahun 1385 hijriyah Syeikh Abdul Qadir bin Tholib menghembuskan nafasnya terakhir untuk bertemu dengan Allah s.w.t., setelah mengalami penyakit yang beliau derita, masyarakat Makkah sangat berduka cita dengan kewafatan beliau, para pelajar sangat kehilangan ulama panutan mereka, isak tangis menyelubungi kewafatan seorang ulama yang alim, banyaknya para pelayat dan pensolat menunjukkan betapa besarnya kecintaan mereka kepada Syeikh Abdul Qadir a-Manidili, beliau di kuburkan di perkuburan Ma`la Makkah Mukarramah.
Selengkapnya..

Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Besuki Jawa Timur

Al Habib Al Qutub Abubakar bin Muhammad Assegaf lahir di kota Besuki, Jawa Timur, pada tahun 1285 H. Semenjak kecil beliau sudah ditinggal oleh ayahnya yang wafat di kota Gresik. Pada tahun 1293 H, Habib Abubakar kemudian berangkat ke Hadramaut karena memenuhi permintaan nenek beliau, Syaikhah Fatimah binti Abdullah ‘Allan.

Beliau berangkat kesana ditemani dengan Al-Mukarram Muhammad Bazmul. Sesampainya disana, beliau disambut oleh paman, sekaligus juga gurunya, yaitu Abdullah bin Umar Assegaf, beserta keluarganya. Kemudian beliau tinggal di kediaman Al-Arif Billah Al-Habib Syeikh bin Umar bin Saggaf Assegaf.
Di kota Seiwun beliau belajar ilmu figih dan tasawuf kepada pamannya Al-Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Hiduplah beliau dibawah bimbingan gurunya itu. Bahkan beliau dibiasakan oleh gurunya untuk bangun malam dan shalat tahajud meskipun usia beliau masih kecil. Selain berguru kepada pamannya, beliau juga mengambil ilmu dari para ulama besar yang ada disana. Diantara guru-guru beliau disana antara lain :

Al-Habib Al-Qutub Ali bin Muhammad Alhabsyi
Al-Habib Muhammad bin Ali Assegaf
Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi
Al-Habib Ahmad bin Hasan Alatas
Al-Habib Al-Imam Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur (Mufti Hadramaut saat itu).
Al-Habib Syeikh bin Idrus Alaydrus

Al-Habib Al-Qutub Ali bin Muhamad Alhabsyi sungguh telah melihat tanda-tanda kebesaran dalam diri Habib Abubakar dan akan menjadi seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi. Al-Habib Ali Alhabsyi berkata kepada seorang muridnya, “Lihatlah mereka itu, 3 wali min auliyaillah, nama mereka sama, keadaan mereka sama, dan kedudukan mereka sama. Yang pertama, sudah berada di alam barzakh, yaitu Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Abdullah Alaydrus. Yang kedua, engkau sudah pernah melihatnya pada saat engkau masih kecil, yaitu Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Abdullah Alatas. Dan yang ketiga, engkau akan melihatnya di akhir umurmu”.

Ketika usia murid tersebut sudah menginjak usia senja, ia bermimpi melihat Nabi SAW 5 kali dalam waktu 5 malam berturut-turut. Dalam mimpinya itu, Nabi SAW berkata kepadanya, “(terdapat kebenaran) bagi yang melihatku di setiap kali melihat. Kami telah hadapkan kepadamu cucu yang sholeh, yaitu Abubakar bin Muhammad Assegaf. Perhatikanlah ia”.

Murid tersebut sebelumnya belum pernah melihat Habib Abubakar, kecuali di mimpinya itu. Setelah itu ingatlah ia dengan perkataan gurunya, Al-Habib Ali Alhabsyi, “Lihatlah mereka itu, 3 wali min auliyaillah…”. Tidak lama setelah kejadian mimpinya itu, ia pun meninggal dunia, persis sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Habib Ali bahwa ia akan melihat Habib Abubakar di akhir umurnya.

Setelah menuntut ilmu disana, pada tahun 1302 H beliau pun akhirnya kembali ke pulau Jawa bersama Habib Alwi bin Saggaf Assegaf, dan menuju kota Besuki. Disinilah beliau mulai mensyiarkan dakwah Islamiyyah di kalangan masyarakat. Kemudian pada tahun 1305 H, disaat usia beliau masih 20 tahun, beliau pindah menuju kota Gresik.

Di pulau Jawa, beliaupun masih aktif mengambil ilmu dan manfaat dari ulama-ulama yang ada disana saat itu, diantaranya yaitu :

Al-Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Bogor)
Al-Habib Abdullah bin Ali Alhaddad (wafat di Jombang)
Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas (Pekalongan)
Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Umar Bin Yahya (Surabaya)
Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya)
Al-Habib Muhammad bin Ahmad Almuhdhor (wafat di Surabaya)

Pada suatu hari disaat menunaikan shalat Jum’at, datanglah ilhaamat rabbaniyyah kepada diri beliau untuk ber- uzlah dan mengasingkan diri dari keramaian duniawi dan godaannya, menghadap kebesaran Ilahiah, ber-tawajjuh kepada Sang Pencipta Alam, dan menyebut keagungan nama-Nya di dalam keheningan. Hal tersebut beliau lakukan dengan penuh kesabaran dan ketabahan.

Waktu pun berjalan demi waktu, sehingga tak terasa sudah sampai 15 tahun lamanya. Beliau pun akhirnya mendapatkan ijin untuk keluar dari uzlahnya, melalui isyarat dari guru beliau, yaitu Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi. Berkata Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi, “Kami memohon dan ber-tawajjuh kepada Allah selama 3 malam berturut-turut untuk mengeluarkan Abubakar bin Muhammad Assegaf dari uzlahnya”. Setelah keluar dari uzlahnya, beliau ditemani dengan Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi berziarah kepada Al-Imam Al-Habib Alwi bin Muhammad Hasyim Assegaf.

Sehabis ziarah, beliau dengan gurunya itu langsung menuju ke kota Surabaya dan singgah di kediaman Al-Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Masyarakat Surabaya pun berbondong-bondong menyambut kedatangan beliau di rumah tersebut. Tak lama kemudian, Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi berkata kepada khalayak yang ada disana seraya menunjuk kepada Habib Abubakar, “Beliau adalah suatu khazanah daripada khazanah keluarga Ba’alawi. Kami membukakannya untuk kemanfaatan manusia, baik yang khusus maupun yang umum”.

Semenjak itu Habib Abubakar mulai membuka majlis taklim dan dzikir di kediamannya di kota Gresik. Masyarakat pun menyambut dakwah beliau dengan begitu antusias. Dakwah beliau tersebar luas…dakwah yang penuh ilmu dan ikhlas, semata-mata mencari ridhallah. Dalam majlisnya, beliau setidaknya telah mengkhatamkan kitab Ihya Ulumiddin sebanyak 40 kali. Dan merupakan kebiasaan beliau, setiap kali dikhatamkannya pembacaan kitab tersebut, beliau mengundang jamuan kepada masyarakat luas.

Beliau adalah seorang yang ghirahnya begitu tinggi dalam mengikuti jalan, atribut dan akhlak keluarga dan Salafnya Saadah Bani Alawi. Majlis beliau senantiasa penuh dengan mudzakarah dan irsyad menuju jalan para pendahulunya. Majlis beliau tak pernah kosong dari pembacaan kitab-kitab mereka. Inilah perhatian beliau untuk tetap menjaga thoriqah salafnya dan berusaha berjalan diatas… qadaman ala qadamin bi jiddin auza’i.

Itulah yang beliau lakukan semasa hayatnya, mengajak manusia kepada kebesaran Ilahi. Waktu demi waktu berganti, sampai kepada suatu waktu dimana Allah memanggilnya. Disaat terakhir dari akhir hayatnya, beliau melakukan puasa selama 15 hari, dan setelah itu beliau pun menghadap ke haribaan Ilahi. Beliau wafat pada tahun 1376 H pada usia 91 tahun. Jasad beliau disemayamkan di sebelah masjid Jami, Gresik.

Walaupun beliau sudah berpulang ke rahmatillah, kalam-kalam beliau masih terdengar dan membekas di hati para pendengarnya. Akhlak-akhlak beliau masih menggoreskan kesan mendalam di mata orang-orang yang melihatnya. Hal-ihwal beliau masih mengukir keindahan iman di kehidupan para pecintanya.

MANAQIB HABIB ABU BAKAR BIN MUHAMMAD ASSEGAF

Beliau adalah Al-Imam al-Quthbul Fard al-Habib Abu Bakar bin Muhammad bin Umar bin Abu Bakar bin Al-Habib Umar bin Segaf as-Segaf (seorang imam di lembah Al-Ahqof). Garis keturunan beliau yang suci ini terus bersambung kepada ulama dari sesamanya hingga bermuara kepada pemuka orang-orang terdahulu, sekarang dan yang akan datang, seorang kekasih nan mulia Nabi Muhammad S.A.W. Beliau terlahir di kampung Besuki (salah satu wilayah di kawasan Jawa Timur) tahun 1285 H. Ayahanda beliau ra. wafat di kota Gresik, sementara beliau masih berumur kanak-kanak.

Sungguh al-Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf tumbuh besar dalam asuhan dan penjagaan yang sempurna. Cahaya kebaikan dan kewalian telah tampak dan terpancar dari kerut-kerut wajahnya, sampai-sampai beliau R.a di usianya ke-3 tahun mampu mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada dirinya. Semua itu tak lain karena power (kekuatan) dan kejernihan rohani beliau, serta kesiapannya untuk menerima curahan anugerah dan Fath (pembuka tabir hati) darinya.

Pada tahun 1293 H, atas permintaan nenek beliau yang sholehah Fatimah binti Abdullah (Ibunda ayah beliau), beliau merantau ditemani oleh al-Mukaram Muhammad Bazamul ke Hadramaut meninggalkan tanah kelahirannya Jawa. Di kala al-Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf akan sampai di kota Sewun, beliau di sambut di perbatasan kota oleh paman sekaligus guru beliau al-Allamah Abdullah bin Umar berikut para kerabat. Dan yang pertama kali dilantunkan oleh sang paman bait qosidah al-Habib al-Arifbillah Syeh bin Umar bin Segaf seorang yang paling alim di kala itu dan menjadi kebanggaan pada jamannya. Dan ketika telah sampai beliau dicium dan dipeluk oleh pamannya. Tak elak menahan kegembiraan atas kedatangan sang keponakan dan melihat raut wajahnya yang memancarkan cahaya kewalian dan kebaikan berderailah air mata kebahagiaan sang paman membasahi pipinya.

Hati para kaum arifin memiliki ketajaman pandang
Mampu melihat apa yang tak kuasa dilihat oleh pemandang.

Sungguh perhatian dan didikan sang paman telah membuahkan hasil yang baik pada diri sang keponakan. Beliau belajar kepada sang paman al-Habib Abdullah bin Umar ilmu fiqh dan tasawuf, sang paman pun suka membangunkannya pada akhir malam ketika beliau masih berusia kanak-kanak guna menunaikan shalat tahajjud bersama-sama, al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf mempunyai hubungan yang sangat kuat dalam menimba ilmu dari para ulama dan pemuka kota Hadramaut. Sungguh mereka (para ulama) telah mencurahkan perhatiannya pada al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Maka beliau ra. Banyak menerima dan memparoleh ijazah dari mereka. Diantara para ulama terkemuka Hadramaut yang mencurahkan perhatiannya kepada beliau, adalah al-Imam al-Arifbillah al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, (seorang guru yang sepenuhnya mencurahkan perhatiannya kepada al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf).

Sungguh Habib Ali telah menaruh perhatiannya kepada al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf semenjak beliau masih berdomisili di Jawa sebelum meninggalkannya menuju Hadramaut.

Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi berkata kepada salah seorang murid seniornya “Perhatikanlah! Mereka bertiga adalah para wali, nama, haliyah, dan maqom (kedudukan) mereka sama. Yang pertama adalah penuntunku nanti di alam barzakh, beliau adalah Quthbul Mala al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus, yang kedua, aku melihatnya ketika engkau masih kecil beliau adalah al-Habib al-Ghoust Abu Bakar bin Abdullah al-Atthos, dan yang ketiga engkau akan melihat sendiri nanti di akhir dari umurmu”.

Maka tatkala memasuki tahun terakhir dari umurnya, ia bermimpi melihat Rosulullah SAW sebanyak lima kali berturut-turut selama lima malam, sementara setiap kali dalam mimpi Beliau SAW mengatakan kepadanya (orang yang bermimpi) ” Lihatlah di sampingmu, ada cucuku yang sholeh Abu Bakar bin Muhammad Assegaf”! Sebelumnya orang yang bermimpi tersebut tidak mengenal al-Habib Abu Bakar Assegaf kecuali setelah dikenalkan oleh Baginda Rosul al-Musthofa SAW didalam mimpinya. Lantas ia teringat akan ucapan al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi dimana beliau pernah berkata “Mereka bertiga adalah para wali, nama dan kedudukan mereka sama”. Setelah itu ia (orang yang bermimpi) menceritakan mimpinya kepada al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia.

Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf mendapat perhatian khusus dan pengawasan yang istimewa dari gurunya al Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi sampai-sampai Habib Ali sendiri yang meminangkan beliu dan sekaligus menikahkannya. Selanjutnya (diantara para masyayikhnya) adalah al Allamah al Habib Abdullah bin Umar Assegaf sebagai syaikhut tarbiyah, al Imam al Quthb al Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi sebagai syaikhut taslik, juga al Mukasyif al Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Quthban sebagai syaikhul fath. Guru yang terakhir ini sering memberi berita gembira kepada beliau “Engkau adalah pewaris haliyah kakekmu al Habib Umar bin Segaf”. Sekian banyak para ulama para wali dan para kaum sholihin Hadramaut baik itu yang berasal dari Sewun, Tarim dan lain-lain yang menjadi guru al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, seperti al Habib Muhammad bin Ali Assegaf, al Habib Idrus bin Umar al-Habsyi, al Habib Ahmad bin Hasan al-Atthas, al Habib Abdurrahman al-Masyhur, juga putera beliau al Habib Ali bin Abdurrahman al-Masyhur, dan juga al Habib Syekh bin Idrus al-Idrus dan masih banyak lagi guru beliau yang lainnya.

Pada tahun 1302 H, ditemani oleh al Habib Alwi bin Segaf Assegaf al Habib Abu Bakar Assegaf pulang ketanah kelahirannya (Jawa) tepatnya di kampung Besuki. Selanjutnya pada tahun 1305 H, ketika itu beliau berumur 20 tahun beliau pindah ke kota Gresik sambil terus menimba ilmu dan meminta ijazah dari para ulama yang menjadi sinar penerang negeri pertiwi Indonesia, sebut saja al Habib Abdullah bin Muhsin al-Atthas, al Habib Abdullah bin Ali al-Haddad, al Habib Ahmad bin Abdullah al-Atthas, al Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya, al Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi,al Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdlar, dan lain sebagainya.

Kemudian pada tahun 1321 H, tepatnya pada hari jum’at ketika sang khatib berdiri diatas mimbar beliau r.a mendapat ilham dari Allah SWT bergeming dalam hatinya untuk mengasingkan diri dari manusia semuanya. Terbukalah hati beliau untuk melakukannya, seketika setelah bergeming beliau keluar dari masjid jami’ menuju rumah kediamannya. Beliau al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf ber-uzlah atau khalwat (mengasingkan diri) dari manusia selama lima belas tahun bersimpuh dihadapan Ilahi Rabbi. Dan tatkala tiba saat Allah mengizinkan beliau untuk keluar dari khalwatnya, guru beliau al Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi mendatanginya dan memberi isyarat kepada beliau untuk mengakhiri masa khalwatnya, al Habib Muhammad al-Habsyi berkata “selama tiga hari kami bertawajjuh dan memohon kepada Allah agar Abu Bakar bin Muhammad Assegaf keluar dari khalwatnya”, lantas beliau menggandeng al Habib Abu Bakar Assegaf dan mengeluarkannya dari khalwatnya. Kemudian masih ditemani al Habib Muhammad al-Habsyi beliau r.a menziarahi al Habib Alawi bin Muhammad Hasyim, sehabis itu meluncur ke kota Surabaya menuju ke kediaman al Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Sambil menunjuk kepada al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf al Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi memproklamirkan kepada para hadirin “Ini al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf termasuk murtiara berharga dari simpanan keluarga Ba ‘Alawi, kami membukanya agar bisa menularkan manfaat bagi seluruh manusia”.

Setelah itu beliau membuka majlis ta’lim dirumahnya, beliau menjadi pengayom bagi mereka yang berziarah juga sebagai sentral (tempat rujukan) bagi semua golongan diseluruh penjuru, siapa pun yang mempunyai maksud kepada beliau dengan dasar husnudz dzan niscaya ia akan meraih keinginannya dalam waktu yang relatif singkat. Di rumah beliau sendiri, al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf telah menghatamkan kitab Ihya’ Ulumuddin lebih dari 40 kali. Pada setiap kali hatam beliau selalu menghidangkan jamuan yang istimewa. al Habib Abu Bakar Assegaf betul-betul memiliki ghirah (antusias) yang besar dalam menapaki aktivitas dan akhlaq para aslaf (pendahulunya), terbukti dengan dibacanya dalam majlis beliau sejarah dan kitab-kitab buah karya para aslafnya.

Adapun maqom (kedudukan) al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, beliau telah mencapai tingkat Shiddiqiyah Kubro. Hal itu telah diakui dan mendapat legitimasi dari mereka yang hidup sezaman dengan beliau. Berikut ini beberapa komentar dari mereka.

al Imam al Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar berkata,

“Demi fajar dan malam yang sepuluh dan yang genap dan yang ganjil. Sungguh al Akh Abu Bakar bin Muhammad Assegaf adalah mutiara keluarga Segaf yang terus menggelinding (maqomnya) bahkan membumbung tinggi menyusul maqom-maqom para aslafnya”.

Al Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad berkata,

“Sesungguhnya al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf adalah seorang Quthb al Ghaust juga sebagai tempat turunnya pandangan (rahmat) Allah SWT”.

Al Arif billah al Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi pernah berkata di rumah al Habib Abu Bakar Assegaf dikala beliau membubuhkan tali ukhuwah antara beliau dengan al Habib Abu Bakar Assegaf, pertemuan yang diwarnai dengan derai air mata. Habib Ali berkata kepada para hadirin ketika itu,

“Lihatlah kepada saudaraku fillah Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Lihatlah ia..! Maka melihat kepadanya termasuk ibadah”

Al Habib Husein bin Muhammad al-Haddad berkata,

“Sesungguhnya al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf adalah seorang khalifah. Beliau adalah penguasa saat ini, belia telah berada pada Maqom as Syuhud yang mampu menyaksikan (mengetahui) hakekat dari segala sesuatu. Beliau berhak untuk dikatakan “Dia hanyalah seorang hamba yang kami berikan kepadanya (sebagai nikmat)”.
Selengkapnya..

Habib Syekh bin Ahmad Al Musawwa, Surabaya

Guru para Kiai dan Habaib

Ia dikenal sebagai guru para ulama dan habaib. Seperti ulama yang lain, masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu. Meski sudah berusia 85 tahun, ia masih membuka taklim di Surabaya.

Sore itu langit cerah. Suasana di sekitar sebuah gedung di perkampungan Arab Jalan Kalimasudik II Surabaya tampak lengang. Melalui lorong gang sempit di kawasan yang tak jauh dari kompleks Ampel, Hannan bin Yunus Assegaf sempat berziarah ke rumah Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa, seorang ulama yang kini sudah berusia 85 tahun. Dulu, ia dikenal sebagai muballigh di berbagai majelis taklim di Jakarta. Bisa dimaklumi jika cukup banyak santrinya yang kini menjadi ulama di Jakarta, seperti K.H. Abdurrahman Nawawi, K.H. Thoyib Izzi, K.H. Zain, dan lain-lain.

Lahir di Purwakarta, Jawa Barat, pada 1921, Habib Syekh Al-Musawa putra pasangan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Musawa dan Sayidah Sa’diyah. Sejak kecil, putra kedua dari tiga bersaudara ini dididik langsung oleh ayahandanya, seorang ulama yang cukup terkenal di masanya. Pada 1930, menginjak usia sembilan tahun, ia belajar ke sebuah rubath (pesantren) di Tarim, Hadramaut. Di sana ia berguru kepada Habib Ahmad bin Umar Asy-Syathiry, pengarang kitab Al-Yaqut an-Nafis, dan Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiry, pengasuh Rubath Tarim. Ia belajar fiqih, tafsir, nahwu, sharaf, balaghah, dan tasawuf, selama 10 tahun.

Namun yang paling ia senangi ialah tasawuf. “Pelajaran tasawuf sangat saya senangi, karena merupakan salah satu jalan manusia mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf juga menganjurkan orang menjadi bijaksana dan lebih berakhlak,” kata Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa. Selain itu, menurut dia, tasawuf mudah dipelajari – baik dalam keadaan senang maupun susah. Maka ia pun dengan tekun mempelajari kitab tasawuf karya Imam Ghazali, seperti Ihya’ Ulumiddin, Bidayah al-Hidayah, dan lain-lain.

Semangat belajarnya yang tinggi membawanya belajar ke Makkah Al-Mukarramah. Meski waktu itu Timur Tengah tak lepas dari imbas suasana Perang Dunia I, tekadnya yang besar tak menyurutkan langkahnya menuju Makkah. Di tengah kecamuk perang itulah, dengan mengendarai unta ia berangkat dari Tarim ke Makkah. Di tengah perjalanan Habib Syekh Al-Musawa terpaksa singgah di beberapa desa, bahkan sempat pula mengajar di perkampungan Arab Badui. Bisa dimaklumi jika perjalanan itu makan waktu sekitar dua bulan.

Di Tanah Suci, ia langsung belajar kepada Sayid Alwy bin Muhammad Al-Maliky. Bermukim di Makkah sekitar lima tahun, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa juga berguru kepada Habib Alwy Shahab, Habib Abdulbari bin Syekh Alaydrus, dan Sayid Amin Al-Kutbi. Di Makkah, ia sempat bertemu para santri asal Indonesia, seperti Habib Ali bin Zain Shahab (Pekalongan), Habib Abdullah Alkaf (Tegal), Habib Abdullah Syami Alatas (Jakarta), Habib Husein bin Abdullah Alatas (Bogor).

Islamic Centre

Pada 1947 Habib Syekh Al-Musawa pulang, lalu menikah dengan Sayidah Nur binti Zubaid di Surabaya. Tak lama kemudian ia mengajar di Madrasah Al-Khairiyah, sambil berguru kepada Habib Muhammad Assegaf di Kapasan, Surabaya. Setelah gurunya itu wafat, ia menggantikan mengajar di majelis taklim almarhum. Tiga tahun kemudian Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa pindah ke Jakarta, mengajar setiap Minggu pagi di majelis taklim Kwitang yang diasuh oleh Habib Muhammad Alhabsyi selama enam tahun. Ia membantu Habib Muhammad membangun Islamic Centre Indonesia (ICI), antara lain berangkat ke beberapa negara Islam di Timur Tengah pada 1967 untuk mencari dana pembangunan ICI.

Setelah pembangunan ICI selesai, Habib Syekh Al-Musawa mengajar majelis taklim asuhan K.H. Muhammad Zein di Kampung Makassar, Kramat Jati, selama setahun. Dan sejak 1971 ia mengajar di Madrasah Az-Ziyadah asuhan K.H. Zayadi Muhajir selama 30 tahun. Setelah Kiai Muhajir wafat, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa menggantikan almarhum mengasuh taklim sampai 2003. Selain mengajar di Az-Ziyadah, ia juga mengajar di majelis taklim Habib Muhammad bin Aqil bin Yahya di Jalan Pedati, Jakarta Timur. Bukan hanya itu, ketika itu ia juga mengajar di 30 majelis taklim lain di berbagai tempat di Jakarta.

Pada 2003, Habib Syekh Al-Musawa kembali ke Surabaya, tinggal di rumahnya yang sekarang di Jalan Kalimasudik II. Bapak delapan anak ini (dua putra, enam putri) sekarang lebih banyak beristirahat di rumah. Meski begitu, banyak santri dari sekitar Surabaya yang datang mengaji kepadanya. Ia mengajar fiqih, nahwu, sharaf, balaghah, tafsir, dan tasawuf.

Saat ini fisiknya memang sudah berubah. Dulu gagah dan tampan, kini agak kurus, sementara wajahnya tampak agak cekung. Hanya dua-tiga patah kata yang ia bisa ucapkan, itu pun tentu saja tak lagi lantang seperti dulu ketika masih muda, saat ia masih bergiat sebagai muballigh. Jalannya pun tak lagi gesit.

Meski begitu, semangatnya untuk membangkitkan dakwah masih bergelora. Ia, misalnya, tetap menyampaikan tausiah, meski hanya kepada para tamunya.

Sorot matanya pun masih jernih, pertanda jiwa dan kalbunya bersih pula. Dengan segala keterbatasannya, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa menerima tamu dengan hangat. Meski sulit berbicara, ulama yang selalu mengenakan gamis dan serban putih ini justru lebih sering menanyakan kondisi kesehatan tamunya.

Selain mengajar privat para santri yang datang ke rumah, ia masih sempat mengajar tasawuf di Majelis Burdah asuhan Habib Syekh bin Muhammad Alaydrus di Jalan Ketapang Kecil setiap Kamis sore sampai menjelang maghrib. Salah satu buah karyanya yang mutakhir ialah kitab Muqtathafat fi al-Masail al-Khilafiyyah (Beberapa Petikan Masalah Khilafiah). Dan kini, meski sudah agak uzur, ia masih bersemangat menyelesaikan sebuah kitab tentang pernikahan dalam pandangan empat ulama madzhab.
Selengkapnya..

Habib Idrus bin Salim Al Jufri, Sulawesi Tengah

Beliau adalah Ulama Hadamaut yang hijrah ke Indonesia untuk menjaga benteng pertahanan akidah Islam di Sulawesi dari rongrongan ancaman Missionaris Kristen. Beliaulah pendiri Yayasan Alkhairaat, yang kini terdiri dari TK, SD, SMP,SMA, SMK,MI, MTS, MA hingga Universitas. Lembaga-lembaga pendidikan Islam Al-Khairaat berpusat di Kota Palu dan menyebar ke daerah sekitar, menjadikannya sebagai pintu gerbang dakwah Islam di Kawasan Timur Nusantara.

Nasab Beliau adalah :

Habib Idrus bin Salim bin Alwi bin Segaf bin Alwi bin Abdullah bin Husein bin Salim bin Idrus bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Abu Bakar Aljufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ali bin Muhammad Faqqqih Al-Muqaddam bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Ali AL-‘Uraidhi bin Jakfar As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Azzahrah binti Rasulullah shallahu alaihi wa sallam.
Habib Idrus lahir di kota Taris, 4 km dari ibu kota Seiwun, Hadramaut, pada 14 sya’ban 1309 H bertepatan dengan 15 Maret 1881 M. Beliau mendapat pendidikan agama langsung dari ayah dan lingkungan keluarganya. Ayah beliau, Habib Salim adalah seorang qadhi (hakim) dan mufti (Ulama yang memiliki otoritas mutlak untuk memberi fatwa) di Kota Taris, Hadramaut. Sedangkan kakek Beliau, Al Habib Alwi bin Segaf Aljufri, adalah seorang ulama di masa itu. Beliau adalah salah satu dari lima orang ahli hukum di Hadramaut yang fatwa-fatwanya terkumpul dalam kitab Bulughul Musytarsyidin, karya Al-Imam Al-habib Abdurrahman Al-Masyhur.
Tatkala Habib Idrus menginjak usia remedial, ayah Beliau Al-Habib Salim melihat bahwa kelak anak nya ini bisa menggantikannya. Beliaupun mendidik anaknya tersebut secara khusus. Habib Salim membuatkan kamar khusus bagi anaknya agar dapat berkonsentrasi dalam belajar. Habib Idrus kemudian mendalami berbagai Ilmu seperti tafsir, hadits, tasawuf, fiqih, Tauhid, Mantiq, ma’ani, bayan, badi’, nahwu, sharaf, falaq, tarikh dan sastra. Selain pada ayahnya, Habib Idrus juga belajar kepada Para Ulama dan Auliya’ di Hadramaut, diantaranya adalah : Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Al-Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf, Al-Habib Muhammad bin Ibrahim bilfaqih, Al-Habib Abdullah bin Husein bin Sholeh Al-Bahar, Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi. Dan Al-Habib Abdullah bin Umar As-Syathiri di Rubath Tarim.
Kemudian pada tahun 1327 H. atau sekitar tahun 1909 M bersama sang ayah, Habib Idrus berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam datuknya Rasulullah salallahu alaihi wasallam di Madinah. Di sana mereka menetap selama enam bulan. Selama itu Habib Salim memanfaatkan waktunya untuk mengajak putranya ini berziarah kepada para ulama dan Auliya’ yang berada di Hijaz pada masa itu, untuk memminta berkah, do’a serta ijazah dari mereka. Salah satunya kepada Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani di Makkah. Habib Salim kemudian membawa putranya kembali ke Hadramaut. Setelah itu beliau membawa Habib Idrus berlayar ke Indonesia tepatnya di kota Manado untuk menemui ibunya Syarifah Nur Al-Jufri serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan kedua saudara kandung Habib Idrus yang telah terlebih dahulu hijrah ke Indonesia. Setelah beberapa waktu di Indonesia, Habib Idrus dan ayahnya kembali ke Hadramaut. Sebtibanya di Hadramaut, Habib Idrus mengajar di Madrasah yang dipimpin oleh ayah beliau.
Setelah itu Habib Idrus menikah dengan Syarifah Bahiyah, yang kemudian dikaruniai tiga orang anak: Habib Salim, Habib Muhammad dan Syarifah Raguan. Pada bulan Syawwal 1334 H bertepatan dengan 1906 M ayah beliau wafat. Dan pada tahun itu pula Habib Idrus diangkat oleh Sultan Mansur sebagai Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut, padahal usianya saat itu baru 25 Tahun.
Semenjak tahun 1839 M Hadramaut berada dalam penjajahan Inggris. Pada masa penjajahan Inggris itulah Habib Idrus bersama seorang sahabatnya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah (keduanya dikenal sebgai ulama yang moderat) bermaksud ke Mesir untuk mempublikasikan kekjaman Inggris dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Inggris di Hadramaut. Setelah sesuatunya dipersiapkan dengan matang dan rapi, keduanya berangkat melalui Pelabuhan Aden. Namun di Pelabuhan Laut Merah itu rencana mereka diketahui oleh pasukan Inggris. Keduanya ditangkap, dokumennya disita dan dimusnahkan. Setelah ditanah beberapa waktu kemudian mereka dibebaskan dengan syarat, mereka tidak diperbolehkan bepergian ke negeri Arab manapun. Setelah kejadian itu Habib Abdurrahman memilih tinggal di Hadramaut, sedangkan Habib Idrus memilih hijrah ke Indonesia.
Pada tahun 1925 M Habib Idrus kembali untuk kedua kalinya ke Indonesia. Pada mulanya beliau tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Di sana beliau menika dengan Syarifah Aminah Al-Jufri. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua anak perempuan, Syarifah Lulu’ dan Syarifah Nikmah. Syarifah Lulu’ kemudian menikah dengan Sayyid Segaf bin Syekh Al-Jufri, yang salah seorang anaknya adalah Dr.Salim Segaf Al-Jufri, Duta besar Indonesia untuk Arab Saudi periode sekarang.
Pada tahun 1926 M beliau pindah ke kota Jombang, disana beliau mengajar dan berdagang. Namun di penghujung tahun 1928 M karena seringkali mengalami kerugian dalam berdagang, Habib Idrus berhenti Berdagang dan memulai mengajar. Di tahun itu pula beliau pindah ke kota Solo. Pada tanggal 27 Desember 1928 bersama beberapa Habaib beliau mendirikan Madrasah Rabithah Alawiyah di kota Solo. Namun, pada akhir tahun 1929 M Habib Idrus meninggalkan kota Solo dan hijrah ke Sulawesi. Beliau kemudian berlayar menuju Manado. Ketika kapalnya singgah di Donggala, Habib Idrus menggunakan kesempatan itu untuk berkonsolidasi dengan komunitas Arab yang dipimpin Syekh Nasar bin Khams Al-Amri, di situ beliau mengutarakan tentang rencananya untuk mendirikan madrasah di kota Palu.
Setibanya di Manado, Habib Idrus mendapatkan telegram tentang hasil musyawarah masyarakat arab yang ada di Kota Palu mengenai pendirian Madrasah. Pada akhirnya disepakati bersama bahwa sarana pendidikan berupa gedung akan disiapkan oleh masyarakat arab Palu, sedangkan gaji guru, Habib Idrus yang akan mengusahakannya. Pada awal 1930 M Habib Idrus menuju kota Palu. Dan pada tanggal 30 Juni 1930 M setelah mengurus prizinan pendirian dan surat-surat lainnya ke pemerintah Hindia Belanda, maka, diresmikanlah Madrasah Al-Khairaat di Kota Palu.
Dalam perkembangannya, pengelolaan Madrasah sepenuhnya ditangani oleh Habib Idrus. Para murid yang belajar di sana tidak dipungut biaya sama sekali. Hal ini karena Habib Idrus mengadaptasi sistem pendidikan arab yang pada umumnya tidak memungut biaya kepada para muridnya. Sehingga para murid lebih fokus dalam belajar. Habib Idrus membrikan gaji kepada para guru dan staf sekolah dari hasilnya berdagang.
Habib Idrus mengajar para santrinya dengan penuh dedikasi dan profesionalitas yang tinggi. Keikhlasan dan keuletan beliau telah membuahkan hasil. Perguruan Al-Khairaat waktu itu telah menghasilkan guru-guru Islam yang handal yang kemudian disebarkan ke seluruh pelosok Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya. Keberadaan perguruan Al-Khairaat dan para santrinya telah berhasil membentengi kawasan Timur Indonesia dari para penginjil, yang waktu itu pada masa Hindia Belanda ada tiga organisasi yang bertugas mengkristenkan suku-suku terasing di Sulawesi Tengah. Mereka adalah Indische Kerk (IK) berpusat di Luwu, Nederlands Zending Genootschap (NZG) berpusat di Tentena, dan Leger Dois Hest (LDH) berpusat di Kalawara.
Pada tanggal 11 Januari 1942 M Jepang menduduki Sulawesi dan menjadikan kota Manado sebagai pusat pangkalan di Kawasan Timur Indonesia. Tidak berselang lama stelah itu, Jepang memerintahkan penutupan perguruan Al-Khairaat. Selama tiga setengah tahun kependudukan Jepang, Habib Idrus tidak menyerah sedikitpun untuk mengajar para muridnya. Proses belajar mengajar tetap berlangsung meskipun secara sembunyi-sembunyi. Lokasi pembelajarandialihkan ke desa Bayoge, yang berjarak satu setengah kilometer dari lokasi perguruan Al-Khairaat. Pengajarannya dilaksanakan pada malam hari dan hanya menggunakan penerangan seadanya, para muridnya datang satu persatu secara sembunyi- sembunyi. Tepat saat kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 Habib Idrus kembali membuka perguruan Al-Khairaat secara resmi. Beliau berjuang kembali untuk mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam. Hingga selama kurun waktu 26 tahun (1930-1956) lembaga yang telah dirintisnya ini telah menjangkau seluruh kawasan Indonesia Timur.
Perguruan Alkhairaat kemudian mengembangkan sayapnya dengan membuka perguruan tinggi pada tahun 1964 M dengan nama Universitas Islam Al-Khairaat dengan tiga fakultas di dalamnya, yaitu: Fakultas Sastra, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas Syariah. Dan Habib Idrus sebagai Rektor pertamanya. Ketika terjadi peristiwa pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965, perguruan tinggi Al-Khairaat dinonaktifkan untuk sementara. Para Mahasiswanya diberikan tugas untuk berdakwah di daerah-daerah terpencil kawasan Sulawesi. Hal ini sebagai upaya untuk membendung paham komunis sekaligus melebarkan dakwah Islam. Setelah keadaan kondusif, pada tahun 1969 perguruan Tinggi Al-Khairaat dibuka kembali.

Masih dalam suasana Idul Fitri, sakit parah yang telah lama diderita Habib Idrus kembali kambuh. Bertambah hari sakitnya semakin berat. Maka, guru, Ulama dan Sastrawan itu wafat, pada hari senin 12 Syawwal 1389 H betepatan dengan 22 Desember 1969 M. sebelum menjelang detik-detik kewafatannya, Habib Idrus sudah mewasiatkan tentang siapa saja yang memandikan jenazah, imam shalat jenazah, tempat pelaksanaan shalat jenazah, siapa yang menerima jenazah di Liang lahat, muadzin di liang lahad, sampai yang membaca talqin di kubur.

Habib Idrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah Al-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat. Mereka para murid-murid Al-Khairaat meneybar di seluruh kawasna Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang Pendidik yang tak kenal putus asa ini. Salah satu murid belia yang melanjutkan dakwahnya adalah Ustad Abdullah Awadh Abdun, yang hijarh dari kota Palu ke Kota Malang untuk berdakwah dan mendidik para muridnya dengan mendirikan pesantren Daarut Tauhid di Kota Malang. Ketika wafat, Habib Idrus telah mewariskan 25 cabang Alkhairaat dan ratusan sekolah, serta beberapa madrasah yang beliau dirikan kala hidupnya. Kini perguruan Besar Alkahiraat danYayasan Al-khairaat, dibentuk pula Wanita Islam Al-Khairaat dan Himpunan Pemuda Al-Khairaat.

Wallahu A`lam !!!
Selengkapnya..

Habib Mahmud bin Umar Al Hamid, Makassar

Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid adalah figur yang sudah tidak asing lagi di Sulawesi Selatan, khususnya kota Makassar. Tak berlebihan kalau dikatakan bahwa Habib Mahmud adalah perintis dan lokomotif acara haul dan Maulid di Bumi Karebosi serta dakwah mahabbah kepada Rasulullah dengan berbagai variasinya. “Dakwah yang ikhlas akan selalu ditolong oleh Allah, dan kita yakin bahwa dakwah ini akan semakin meluas dan dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan,” tuturnya mantap.
Bagi masyarakat Sulawesi Selatan sendiri, acara seperti haul, pembacaan Maulid, tabligh akbar, dan taushiyah masih belum dicintai sebagaimana muhibbin di Jawa. Tapi melihat berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Habib Mahmud, yang dari waktu ke waktu mendapat simpati luar biasa, ke depan dakwah mahabbah Rasulullah SAW ini insya Allah akan semakin mendapat tempat di Bumi Anging Mamiri. “Kita benar-benar memulainya dari nol, jatuh bangun, dihujat, dianggap bid’ah, dijauhi.... Tapi karena landasannya ikhlas dan cinta kepada Rasulullah, sekarang semakin banyak jama’ah yang ikut,” kata Habib Mahmud.
Ia merasa iri dengan kondisi di Jawa, yang menurutnya para habib dan ulama menumpuk, muhibbin tidak perlu dicari, dan kalau ada acara seperti haul dan pembacaan Maulid cukup dengan informasi seadanya sudah dihadiri begitu banyak orang.
“Dulu, di Makassar ini, kita sudah mengajak, mengumumkan di berbagai media dan mempublikasikan dengan biaya yang tidak sedikit, tapi masih kesulitan.” Namun tak dapat diingkari bahwa dari waktu ke waktu antusiasme masyarakat semakin tinggi, dan jumlah jama’ah ta’lim semakin meningkat.
Habib Mahmud tidak berlebihan, jama’ah Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak, yang dipimpinnya, sekarang ada ribuan. Ketika diadakan acara haul akbar pada 17 Januari 2009 yang lalu bertempat di Gedung Manunggal Jenderal Muhammad Yusuf, kota Makassar, puluhan ribu jama’ah hadir dan larut dalam doa dan dzikir.
Hampir semua pejabat, petinggi, dan tokoh politik Sulawesi Selatan hadir. “Saya berharap, semakin banyak majelis ta’lim dan Maulid berdiri, sehingga syiar dan gemuruh dakwah di sini semakin terpancar dan umat Islam semakin yakin dan bangga dengan ajarannya dan selalu meneladani Rasulullah dalam kehidupan dan aktivitasnya,” ujar Habib Mahmud.
Perlu dicatat, Al Mubarak adalah satu-satunya majelis ta’lim di kota Makassar.

Aktivis yang DinamisLahir dan dibesarkan di kota Makassar 42 tahun yang lalu, Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid memulai pendidikannya di sekolah Arab, di samping itu ia juga belajar di sekolah umum di pagi hari. Ibtidaiyah sampai aliyah diikutinya dengan tekun.
Selesai sekolah menengah, ia masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dan meraih gelar sarjana ekonomi.
Semasa di kampus, Habib Mahmud termasuk aktivis yang giat menimba ilmu dari berbagai organisasi kampus. Ia pernah menjadi ketua badko Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), aktif di senat dan berbagai organisasi keagamaan.
Dari bekal aktif inilah Habib Mahmud mendapatkan begitu banyak pelajaran, terutama dalam mengelola massa yang kini jadi bekal utama ketika ia harus mengelola jama’ah dalam jumlah puluhan ribu. Prinsipnya adalah selalu belajar. “Saya tidak pernah bosan untuk belajar. Di mana saja saya berusaha untuk belajar. Bertemu dengan para habib saya belajar, bertemu dengan ulama saya belajar,” ujarnya penuh semangat.
Di rumahnya pun, kompleks Unhas lama, Panampu, kota Makassar, abah dan uminya memberikan pelajaran agama yang cukup kepada anak-anaknya. Abahnya, Habib Umar bin Abdullah Al-Hamid, di samping seorang pedagang, juga mempunyai ilmu agama yang cukup. “Abah saya itu setiap tiga hari khatam Al-Quran, itu kebiasaan yang dijaganya secara istiqamah sampai wafatnya tahun 1999,” ujar Habib Mahmud mengenang. Keuletan dan kegigihan menjadi sikap yang diikutinya dari orangtua.
Setelah selesai dari fakultas ekonomi, Habib Mahmud terjun di dunia bisnis sehingga mengharuskan ia mondar-mandir Makassar-Jakarta. Dalam rentang waktu inilah ia menemukan jodoh seorang wanita asal Solo dan mereka menikah tahun 1993, kini dikaruniai enam anak.
Kegigihannya belajar dari berbagai ulama dan habaib memberikannya bekal untuk juga menularkan kepada orang lain. Sekitar tahun 2001, Habib Mahmud memutuskan untuk memfokuskan diri berdakwah, dengan mendirikan Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak. “Awalnya yang mengaji itu dua-tiga orang,” kenangnya. Lalu dia memulai acara pembacaan Maulid. Yang dibaca pun tidak tetap, kadang kitab Barzanji, karena orang Makassar banyak yang gandrung Barzanji. Lalu ia juga membacakan Simthud Durrar, juga Ad Diba’i. “Dengan berbagai variasi itu masyarakat tidak bosan, dan mulai tertarik,” ujarnya penuh semangat.
Alhamdulillah, dari waktu ke waktu yang ikut majelis ta’lim pun semakin banyak dan hampir setiap hari ada kegiatan ta’lim. Di samping itu kegiatan Al Mubarak pun semakin beragam. Tidak hanya ta’lim dan dzikir, tapi juga mulai menyantuni anak yatim, menjadi pengelola ‘Idul Qurban, dan berbagai kegiatan lainnya. “Masyarakat semakin percaya dengan kita, kemarin kita diamanahi 40 ekor sapi untuk dipotong, yang kemudian dibagikan kepada yang berhak. Padahal dulu ketika awal-awal berdiri hanya satu-dua ekor kambing,” kata Habib Mahmud.

Dakwah yang AsyikAda ramuan dakwah yang cukup mengena yang dilontarkan oleh Habib Mahmud, yaitu dakwah yang asyik. Artinya, dakwah itu benar-benar disenangi dan diminati oleh masyarakat, tidak membuat mereka gerah dan takut. Dan menurutnya itu telah dipraktekkan oleh Rasulullah.
“Berbicara tentang manhaj dakwah tidak terlepas dari koridor yang telah dituntunkan dan dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Yaitu, kelembutan jadi pijakan utama, tapi sikap keras juga perlu. Itu yang telah Rasulullah lakukan, dan hasilnya sungguh sangat menakjubkan. Jadi, berdakwah itu, teladan utamanya adalah Rasulullah. Karena beliaulah uswah hasanah umat Islam,” tutur Habib Mahmud.
“Dakwah perlu persuasi, karena dakwah mempunyai tujuan, yaitu menarik hati orang. Mereka memerlukan cahaya dan ingin keluar dari kegelapan dengan cara bertaubat. Dalam dakwah, amar ma’ruf nahi munkar adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisah, harus menghalau yang bathil dan mengajak kepada kebaikan.”
Jadi, menurut Habib Mahmud, tidak boleh seorang pendakwah hanya memilih yang oke-oke saja tapi ketika berhadapan dengan kemunkaran terdiam. Keduanya harus dilakukan dengan serius, dan tidak pandang bulu.
“Di samping itu berdakwah juga harus diikuti bil hal, bukan hanya lisan. Ada yang konkret dirasakan umat, seperti yang dilakukan oleh Habib Idrus Al-Jufri. Kalau mau turun berdakwah, Habib Idrus membawa sembako, sarung, dan kebutuhan konkret lainnya untuk masyarakat, sehingga obyek dakwah merasa asyik.
Sebelum berdakwah, kita bersosialisasi dengan masyarakat, tatap muka dan sambung rasa. Setelah itu kita memberikan taushiyah. Hal itu lebih kena dan lebih asyik, jadi ada mahabbah,” ujarnya.
Hal itu pula yang dilakukan oleh Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak, yang sudah berlangsung tujuh tahun. Setiap tahun diadakan tabligh dan haul akbar pada bulan Muharram, lalu bulan Rabi’ul Awwal ada Maulid Akbar dan khataman Al-Quran, setiap malam Jum’at membaca Maulid dan taushiyah, lalu malam Sabtu silaturahim dan Ahad pagi khusus taushiyah dari jam 07.00 sampai 09.00 WITA. Untuk mempererat persaudaraan, sebulan sekali diadakan pengajian akbar dari masjid ke masjid, yang dilaksanakan sehabis isya.
Kuncinya, menurut Habib Mahmud, adalah istiqamah dan ikhlas, benar-benar ikhlas dalam mensyiarkan dan membela agama Allah. “Dengan niat karena Allah, empat malaikat, yaitu Izrail, Israfil, Mikail, dan Jibril, akan selalu menjaga kita.” Menurutnya, dakwah seperti ini pula yang dianjurkan oleh Habib Umar bin Hafidz, salah satu tokoh yang sering jadi rujukan Habib Mahmud dan pernah beberapa kali mampir ke Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak. “Beberapa tahun yang lalu saya bersilaturahim ke Darul Musthafa dan mendapatkan banyak pelajaran dari Habib Umar bin Hafidz, alhamdulillah beliau termasuk yang sering mendoakan agar dakwah di Sulawesi Selatan semakin berkembang luas dan semarak,” tutur Habib Mahmud.

Keras, bukan KasarHabib Mahmud juga ketua umum Front Pembela Islam (FPI) Sulawesi Selatan. Ia sangat menyayangkan banyak umat Islam termakan citra negatif yang dibangun media cetak dan elektronik tentang FPI. Menurutnya, citra itu dikembangkan oleh mereka yang tidak ingin agama Islam jaya. “Sedikit saja hal keras yang dilakukan oleh FPI, diekspos besar-besaran, ditanamkan citra bahwa ini gerakan anarkis, gerakan kasar.” Padahal, menurut Habib Mahmud, begitu banyak kerja sosial tanpa lelah yang dilakukan FPI tapi tidak pernah diekspos.
“Ketika tsunami di Aceh, FPI, tanpa alat pelindung, tanpa gembar-gembor, mengurus puluhan ribu jenazah, tidak ada yang mengekspos. Kalau kita kerja sosial, menyantuni anak yatim, tidak ada yang mengekspos, dan memang tujuan kita bukan itu. Tapi kenapa sedikit saja kita melakukan kekerasan, lalu ribut di mana-mana, padahal kita bekerja prosedural, kita kirim surat sampai empat kali, kita kirim juga ke pihak berwenang. Kita tidak pernah kasar. Tapi kalau menyangkut aqidah, kita harus keras dan tegas,” katanya.
Citra yang terus-menerus ditanamkan oleh pihak yang tidak senang dengan Islam itulah yang akhirnya melekat di benak publik. “Sesuatu yang diembuskan terus-menerus akhirnya menjadi semacam kebenaran,” ujarnya prihatin.
Tapi, menurut Habib Mahmud, orang yang tidak menyetujui dakwah lahir dan bathin itu harus dihadapi dengan tenang, jangan dihadapi dengan emosional.
“Ada tempat saya berdakwah yang setiap hari terjadi pertempuran, saling memanah dengan panah beracun, semua dosa besar ada, perjudian, pelacuran, dan pembunuhan.... Saya masuk ke sana, tentu tidak langsung, harus berceramah, tapi mengadakan pendekatan dulu, saling berinteraksi. Kadang saya memberi mereka sarung, memberi kopiah, memberi baju, dan lama-kelamaan menjadi akrab. Kita harus bersahabat dengan mereka, baru kemudian menyampaikan pesan kita. Orang di sini adalah orang-orang yang keras...,” tuturnya.
Menurut Habib Mahmud, metode dakwah di Sulawesi Selatan belum seperti di Jawa, yang sudah berlangsung dengan berbagai macam cara. “Kalau di Jawa habaib dan ulama melimpah, tapi di sini jumlahnya hanya sedikit. Tidak banyak orang tertarik untuk terjun dakwah ke sini, padahal Habib Umar bin Hafidz sudah memerintahkan muridnya agar terjun ke Sulawesi Selatan. Kita harus masuk ke kampung-kampung, karena kita berdakwah prioritasnya ke orang yang tidak paham. Jadi program Habib Umar bin Hafidz, yang terjun ke medan-medan berat, mudah-mudahan diikuti oleh anak muridnya. Anak muridnya harus menyebar ke mana-mana, jangan pilih-pilih medan dakwah,” ujarnya.
Perbedaan cabang atau furuk di tubuh umat Islam, menurut Habib Mahmud, adalah hal yang biasa. Tapi kalau sudah menyangkut aqidah, menurutnya, itu adalah harga mati. “Kelompok seperti Jaringan Islam Liberal, Ahmadiyah, kelompok Lia Eden, sudah tidak bisa lagi diberi toleransi, karena itu menyangkut penyimpangan aqidah. Mereka ini sudah mengobok-obok Islam, sudah menghina Islam, tidak ada toleransi untuk mereka.
Dakwah yang baik harus sesuai dengan niat yang ikhlas semata-mata karena Allah, jangan ada misi lain. Kalau kita istiqamah dan yakin, Allah akan selalu menolong kita. Lihatlah nama-nama besar yang ikhlas dan istiqamah dalam dakwah, mereka diberi keberkahan dan ditolong oleh Allah. Kalau tidak ikhlas, akan hancur...,” ujar Habib Mahmud mengingatkan.
“Saya mencontoh dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah, juga dakwah Habib Umar bin Hafidz dan Habib Muhammad Almaliki. Untuk apa kita berdakwah dengan jumlah ratusan ribu jama’ah tapi akhlaq tidak terjaga, jangan sampai jatuh pada akhlaq tercela. Banyak belum tentu jaminan. Untuk apa jumlah yang besar tapi tidak berkah?” katanya retoris.
Menurut Habib Mahmud, banyak contoh teladan yang bisa diambil dari para ulama dan habaib terdahulu. “Misalnya saja dari Habib Abu Bakar bin Salim, yang bisa khatam Al-Quran enam kali sehari, lalu shalat malam seribu rakaat. Dan setiap hari memotong enam ekor unta untuk para peziarah. Jadi, keberkahan dan keahlian itu muncul dari amalan. Kalau hanya bil lisan, penjual obat malah lebih pintar berceramah. Banyak orang retorikanya bagus tapi tidak ada berkahnya,” ujar Habib Mahmud.
Ia mengisahkan, suatu kali Habib Abdul Kadir Assegaf diundang oleh sebuah panitia untuk bertemu di Madinah. Seluruh ulama besar dunia hadir, semuanya sudah berbicara sesuai dengan keahliannya. Lalu ketika tiba giliran Habib Abdul Kadir, ia bilang kepada panitia bahwa sudah cukup yang berbicara, jadi ia tak perlu lagi.
Namun panitia mendesaknya. Akhirnya ia berpidato dengan hanya membaca doa Qunut, tapi efeknya sungguh luar biasa. Semua yang hadir menangis.
Kenapa mereka menangis? Karena wibawa dan pancaran hatinya yang tulus. Apa yang diucapkan oleh mereka yang tulus ikhlas dan hatinya bersih, efeknya sungguh berbeda. Oleh sebab itu, Habib Mahmud berpesan, “Jaga akhlaq, bersihkan hati, benahi ibadah, dan jangan pernah berdusta.”
Ia melanjutkan, “Mereka yang disebut wali Allah itu adalah mereka yang istiqamah melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menghindari apa yang dilarang Allah, bukan mereka yang pandai berjalan di atas air atau terbang seperti burung. Bukan itu. Mereka beriman secara kaffah, sinkron antara kata dan perbuatan.”

Dana dari AllahBanyak orang yang ragu ketika terjun penuh ke medan dakwah, bagaimana dengan nafkah mereka, bagaimana dengan ongkos operasional dakwah, dan banyak kekhawatiran lainnya. Menurut Habib Mahmud, semua kegiatan memang perlu dana, begitu juga dakwah. Tapi jangan sampai hal itu jadi beban. “Dunia itu jangan ditaruh di kepala, tapi taruh di bawah telapak kaki. Kalau kita berdakwah ikhlas karena Allah, mencontoh Rasulullah dan istiqamah, insya Allah kita akan selalu ditolong oleh Allah dan akan diberi jalan keluar dari arah yang tidak terduga-duga. Itu tauhid, harus haqqul yakin, malaikat akan datang, Allah akan memberi kekuatan. Jangan pernah ragu akan hal itu,” ujarnya memotivasi.
Ia mencontohkan kegiatan yang dilakukan oleh Al Mubarak. Kalau ia berpikir ala ilmu ekonomi, tidak akan pernah terlaksana berbagai acara yang berskala akbar itu, apalagi harus mengundang berbagai pihak dari luar. Tapi Habib Mahmud yakin, Allah akan menolong dan menyediakan dana, Allah akan mencukupi, karena Allah Mahakaya. Dan begitulah selalu setiap acara, apakah haul akbar, tabligh akbar, santunan sosial, ‘Idul Qurban, semuanya alhamdulillah berjalan lancar.
“Saya tidak pernah merisaukan dana. Kalau saya berpikir terlalu ruwet, acaranya tidak akan berjalan. Selalu ada pertolongan dan jalan keluar. Itu saya alami selama mengadakan acara untuk dakwah, seperti haul, tabligh akbar, khataman Al-Quran, ‘Idul Qurban, santunan anak yatim. Ikhlas karena Allah, dan Allah akan menyelesaikan semuanya. Apa yang tidak bisa kalau Allah berkehendak?” ujarnya mantap.
Menyinggung isu Palestina, Habib Mahmud prihatin dengan apa yang terjadi di sana, ribuan orang tidak berdosa menjadi korban kebiadaban Israel. Ia mendoakan, semoga mereka menjadi syahid di sisi Allah.
Menurutnya, kita memang harus peduli dengan nasib saudara-saudara kita di Palestina. Namun, kita juga harus introspeksi, demi meningkatkan kualitas iman dan taqwa. “Dari miliaran umat Islam ini, berapa persen yang istiqamah menjaga shalat fardhunya? Demikian banyak umat Islam yang tidak pernah shalat Subuh. Begitu banyak umat Islam tapi begitu banyak pula yang belum bersungguh-sungguh berislam,” ujarnya prihatin.
Terakhir, tentang obsesinya, ke depannya Habib Mahmud ingin mengembangkan Al Mubarak lebih luas lagi. “Kita akan membentuk yayasan nanti, lalu akan kita bangun pesantren khusus anak yatim, akan dibangun zawiyah. Begitu juga nanti ke depan ada media cetak dan media elektronik. Kita akan datangkan orang-orang ahli tamatan Yaman dan Makkah untuk mengelola itu semua, nanti kita lengkapi dengan bidang usaha, toko, biro haji, produk-produk keislaman. Kita sudah mulai kini dengan beberapa anak yatim dan dhuafa’ yang dibina dan dipelihara, kita harapkan doa dari umat Islam, doa dari ulama dan habaib. Semoga berkah, insya Allah,” ujar Habib Mahmud penuh semangat..
Selengkapnya..

KH Syafi'i Hadzami, Kebayoran Jakarata

1. Nama dan Masa Kecil Mu’allim

Beliau di lahirkan dengan nama “Muhammad syafi’I bih M. Sholeh Raidi, di daerah Batu Tulis, Kebayoran, Jakarta Selatan. Beliau dilahirkan pada tanggal 31 Januari 1931, atau bertepatan dengan 12 Romadhon 1349 H. Beliau mempunyai 8 orang saudara kandung, tetapi karena salah satu meninggal dunia ketika masih kecil, mu’allim hanya memiliki 7 orang saudara saja.

2. Pendidikan Mu’allim

Sejak masih kecil, mu’allim tidak tinggal bersama kedua orang tuanya. Tapi beliau tinggal bersama kakeknya yaitu, bpk. Husin, di daerah Pecenongan. Beliau, sebagai mana lazim orang betawi dahulu, memanggil kakeknya dengan sebutan jid. Dan di dalam asuhan kakeknyalah mu’allim mendapatkan didikan ilmu-ilmu agama, seperti ilmu al-qur’an beserta tajwidnya. Sehingga tak heran pada usia 9 tahun, mu’allim berhasil mengkhatamkan al-qur’an serta mengajar kawan-kawannya. Dan kakeknya pula lah, yang berhasil menanamkan kegemaran dan kecintaan mu’allim kecil terhadap ilmu agama. Sehingga beliau tumbuh, sebagai pribadi yang menggemari ilmu agama.

3. Memburu Ilmu, Mengejar Guru

Sebagai mana diberitahukan sebelumnya, mu’allim sejak kecil, adalah sosok yang sangat menggemari ilmu agama. Hal ini dibuktikan dengan pengembaraannya untuk menuntut ilmu. Meskipun cakupannya hanya di wilayah Jakarta saja, namun tidak berarti semuanya berlangsung biasa saja. Banyak sekali hal yang patut kita jadikan sebagai bahan renungan, mulai dari metode belajar beliau maupun startegi yang beliau lakukan dalam menuntut ilmu (untuk lebih jelas bisa dibaca di biografi beliau “Sumur yang Tak Pernah Kering”, terbitan Yayasan Al-‘Asyirotusy Syafi’iyah). Beliau juga beruntung karena mendapatkan ulama terkemuka di zamannya sebagai gurunya. Dan istimewanya, beliau pun mendapatkan tempat khusus di hati para gurunya. Berikut daftar para ulama ridhwanullaha ‘alaihim yang memberikan pendidikan kepada al-mu’allim :

* K.H. Sa’idan
* Syd Ali bin Husein al-Athas (Habib Ali Bungur)
* Syd Ali bin Abd Rohman al-Habsyi (Habib Ali Kwitang)
* K.H. Mahmud Romli
* K.H. Ya’kub Sa’idi
* K.H. Muhammad Ali Hanafiyyah
* K.H. Mukhtar Muhammad
* K.H. Muhammad Sholeh Mushonnif
* K.H. Zahruddin Utsman
* Syekh Yasin bin Isa al-Fadani
* K.H. Muhamad Thoha
* Dan ulama lainnya.

4. Aktivitas Mengajar Mu’allim (Sumur yang Tak Pernah Kering)

Buah dari kerja keras mu’allim menuntut ilmu ke banyak ulama di Jakarta, mulai terlihat. Majlis ta’lim nya tersebar di lima wilayah ibu kota, bahkan sampai merambah ke daerah Jawa Barat. Apabila di total, aktivitas mengajar mu’allim menyebar sampai ke lebih dari 30 majlis ta’lim. Itu berarti tiap harinya mu’allim mesti mengajar di 4-5 tempat, dengan murid yang berbeda dan juga kitab yang berbeda. Subhanallah. Yang lebih hebat lagi, majlis mu’allim tidak hanya dihadiri oleh kalangan umum saja. Tidak sedikit para kyai serta asatidz yang berdatangan untuk menimba ilmu di sumur yang tak pernah kering itu. Dari sekian banyak majlisnya itu, ada satu yang melalui media radio, yang ketika itu berlangsung di Radio Cendrawasih. Pangajian udara inilah, yang nantinya membidani lahirnya karangan Mu’allim yang fenomenal, yaitu kitab “Taudhihul Adillah (1-7)”.

5. Buah Karya Mu’allim

Kita patut menyambut gembira kehadiran karya-karya Mu’allim yang manfaatnya telah banyak diakui oleh banyak orang, baik dari kalangan ulama maupun orang awam. Hingga kini, sudah puluhan karya yang telah dihasilkan Mu’allim. Pada umumnya karya beliau (kecuali Kitab Taudhihul Adillah) berupa risalah-risalah kecil. Berikut penulis sampaikan beberapa karya mu’allim beserta sedikit ringkasannya.

* Taudhihul Adhillah

Judul buku ini, yaitu Taudhihul Adhillah (menjelaskan dalil-dalil) , benar-benar tepat menggambarkan isi buku tersebut. Seperti diberi tahukan sebelumnya, kelahiran kitab ini bermula dari acara Tanya jawab agama yang diasuh oleh Mu’allim di Radio Cendrawasih. Menurut mu’allim kitab ini adalah kitab yang tidak perlu capaek-capek dalam membuatnya, karena kitab ini adalah “rekaman” dari Tanya jawab tersebut. Kitab ini (dari jilid I s/d VII) telah berkali-kali di cetak ulang. Peredarannya pun bukan hanya di Indonesia tetapi juga sampai merambah ke negeri Jiran dan beberapa Negara Timur Tengah.

* Risalah Qobliyah Jum’at

Risalah ini membahas tentang kesunnatan Qobliyyah Jum’at dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dalam risalah ini dikemukakan nash-nash Al-Qur’an, hadits, dan pendapat para fuqoha’ (ahli fiqih).

* Risalah Sholat Tarawih

Untuk memenuhi hajat kaum muslimin akan penjelasan tentang sholat tarawih, disusunlah risalah ini. Di dalamnya dijelaskan dalil-dalil dari hadits dan keterangan para ulama (termasuk imam mujtahid) yang berkaitan dengan sholat tarawih. Mulai dari pengertiannya, ikhtilaf tentang jumlah roka’atnya, cara pelaksanaannya, dll dibahas dalam kitab ini.

6. Wafatnya Mu’allim

Pada pagi hari, ahad 7 Mei 2006, selepas Mu’allim mengajar di Masjid Pondok Indah, beliau mengeluh sakit pada jantungnya. Akhirnya dalam perjalanan menuju RSPP Pertamina, beliau kembali berpulang ke pangkuan Allah dengan Husnul Khotimah. Banyak para muridnya yang terkejut mendengar berita tersebut. Tak hentinya mereka datang ke kediaman Mu’allim di daerah Kebayoran, untuk mensholati dan mendo’akan kepergian beliau. Bahkan disebutkan sholat jenazah dilakukan tak putusnya mulai dari siang sampai malam hari. Sungguh ketika itu Ummat Islam, khususnya di Indonesia telah kehilangan putra terbaiknya.

Sumber : Buku (K.H.M. Syafi’I Hadzami ; Sumur yang Tak Pernah Kering)

Catatan : Mungkin sekelumit catatan di atas, belum cukup untuk menggambarkan sosok sang Mu’allim K.H. Muhammad Syafi’I Hadzami. Untuk lebih jelasnya, sahabat bisa membaca biogarafi beliau (K.H.M. Syafi’I Hadzami ; Sumur yang Tak Pernah Kering).
Wallohu a’lam bish showab..
Selengkapnya..