Syekh Nuruddin Muhammad ibnu ‘Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi) atau yang lebih dikenal dengan Nuruddin Ar-Raniry adalah ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II).
Beliau diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir , India, dan wafat pada 21 September 1658 . Pada tahun 1637, ia datang ke Aceh, dan kemudian menjadi penasehat kesultanan di Aceh hingga tahun 1644 ( 7 thn).
Nuruddin Ar Raniri Menguasai ilmu pengetahuan yang luas meliputi tasawuf, kalam, fikih, hadis, sejarah, dan perbandingan agama. Selama masa hidupnya, ia menulis kurang-lebih 29 kitab, yang paling terkenal adalah “Bustanus al-Salatin”.
Guru Nuruddin Ar-Raniry
Nuruddin Ar-Raniry berguru dengan Sayyid Umar Abu Hafsb Abdullah Basyeiban yang di India lebih dikenal dengan Sayyid Umar Al-Idrus karena khalifah Tariqah Al-Idrus Ba Alawi di India. Ar-Raniri juga telah menerima Tariqah Rifaiyyah dan Qodariyyah dari guru beliau.
Peranan Nuruddin Ar-Raniry di Aceh
Ar-Raniri berperan penting saat berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf falsafinya Hamzah al-Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam terutama yang baru memeluknya. Tasawuf falsafi berasal dari ajaran Al-Hallaj, Ibn `Arabi, dan Suhrawardi, yang khas dengan doktrin Wihdatul Wujud (Menyatunya Kewujudan) di mana sewaktu dalam keadaan sukr (‘mabuk’ dalam kecintaan kepada Allah Ta’ala) dan fana’ fillah (‘hilang’ bersama Allah), seseorang wali itu mungkin mengeluarkan kata-kata yang lahiriahnya sesat atau menyimpang dari syariat Islam.
Maka oleh mereka yang tidak mengerti hakikat ucapan-ucapan tersebut, dapat membahayakan akidah dan menimbulkan fitnah pada masyarakat Islam. Karena individu-individu tersebut syuhud (‘menyaksikan’) hanya Allah sedang semua ciptaan termasuk dirinya sendiri tidak wujud dan kelihatan. Maka dikatakan wahdatul wujud karena yang wajib wujudnya itu hanyalah Allah Ta’ala sedang para makhluk tidak berkewajiban untuk wujud tanpa kehendak Allah. Sama seperti bayang-bayang pada pewayangan kulit.
Konstruksi wahdatul wujud ini jauh berbeda malah dapat dikatakan berlawanan dengan faham ‘manunggaling kawula lan Gusti’. Karena pada konsep ‘manunggaling kawula lan Gusti’, dapat diibaratkan umpama bercampurnya kopi dengan susu– maka substansi dua-duanya sesudah menyatu adalah berbeda dari sebelumnya. Sedangkan pada faham wahdatul wujud, dapat di umpamakan seperti satu tetesan air murni pada ujung jari yang dicelupkan ke dalam lautan air murni. Sewaktu itu, tidak dapat dibedakan air pada ujung jari dari air lautan. Karena semuanya ‘kembali’ kepada Allah.
Maka pluralisme (menyamakan semua agama) menjadi lanjutan terhadap gagasan ini, dimana yang penting dan utama adalah Pencipta, dan semua ciptaan adalah sama — hadir di alam mayapada hanya karena kehendak Allah Ta’ala.
Maka faham ini, tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kepercayaan syariat, dapat membelokkan akidah. Pada zaman dahulu, para waliullah di negara-negara Islam Timur Tengah sering, apabila di dalam keadaan begini, dianjurkan untuk tidak tampil di khalayak ramai.
Tasawuf falsafi diperkenalkan di Nusantara oleh Fansuri dan Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar kemudian dieksekusi mati oleh dewan wali (Wali Songo). Ini adalah hukuman yang disepakati bagi pelanggaran syariat, manakala hakikatnya hanya Allah yang dapat maha mengetahui.
Al-Hallaj setelah dipancung lehernya, badannya masih dapat bergerak, dan lidahnya masih dapat berzikir. Darahnya pula mengalir mengeja asma Allah– ini semua karamah untuk mempertahankan namanya.
Ar-Raniri dikatakan pulang kembali ke India setelah beliau dikalahkan oleh dua orang murid Hamzah Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada riwayat mengatakan beliau meninggal di India.
Demikian sekilas tentang Syeikh Nuruddin Ar-Raniry.
Selengkapnya..
Tampilkan postingan dengan label Aceh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aceh. Tampilkan semua postingan
Syekh Nuruddin Ar Raniri, Aceh
Syekh Abdurrauf As Sinkili, Aceh
Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf As Sinkili dikenal sebagai pembawa tarekat Syatariyah ke Indonesia. Ia seorang ulama profilic(produktif)dalam menghasilkan karya intelektual.
Konon sewaktu bencana tsunami di Aceh tahun 2004 ada sesuatu peritiwa di luar nalar. Orang-orang yang berkumpul di makam Syaikh Kuala luput dari amukan air bah yang dahsyat. Padahal letak makam tersebut berada di pinggir pantai. Tentu saja cerita ini menjadi buah bibir masyarakat kala itu. Bahkan ada yang mengkeramatkannya. Syeikh Kuala memang tokoh yang dihormati dan mempunyai pengaruh hingga sekarang.
Syeikh Kuala memang bukan nama asing bagi masyarakat Aceh saja. Tetapi dikenal di seantero ranah Melayu dan dunia Islan international. Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf Singkel adalah tokoh tasawuf juga ahli fikih yang disegani. Lelaki asal Sinkel, Fansur Aceh Utara ini dikenal sebagai salah satu ulama produktif. Karyanya banyak mulai tasawuf hingga fikih. Pengaruhnya sangat besar dalam perkembangan Islam di Nusantara. Tak salah kalau menghormati jasanya namanya diabadikan menjadi nama universitas di Banda Aceh.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutnya sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab dalam membuka jaringan ulama Nusantara di dunia internasional. Berkat jasanya orang-orang Indonesia kemudian masuk dalam jajaran jaringan ulama dunia. Tidak salah kalau kemudian muncul nama-nama ulama besar seperti Syeikh Nawawi al Bantani, Syeikh Mahfudz At Tirimisi, dan lain-lain yang mempunyai reputasinya mendunia.
Kitabnya yang berjudul Umtad Al Muhtajin membuka mata kita bagaimana Syeikh Kuala membangun jaringan intelektualnya. Gurunya tersebar dari Yaman, Qatar, Aden hingga dataran Hejaz. Ia belajar tidak hanya ilmu “lahir’ saja tetapi juga ilmu”batin”. Kemasyuhrannya dalam penguasaan dua ilmu tersebut melahirkan banyak karya yang sampai sekarang masih menjadi bahan rujukan para ulama maupun cerdik pandai.
Patut disayangkan catatan tentang kehidupannya sangat minim. Kalaupun ada hanya sejarah lesan saja dan sedikit komentar dalam karya-karyanya. Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa Syeikh Kuala lahir di Singkel pada tahun 1035 H. Nama kampungnya ini kemudian melekat pada dirinya. Nama aslinya Abdurauf. Dalam dunia ulama Melayu atau Jawi namanya disebut sangat panjang yaitu Syeikh Abdurauf al Jawi Al Fansuri as Sinkili. Biografi ulama yang satu ini hanya bisa dilihat sekilas saja. Itupun hanya sepotong tulisan dalam berbagai kitabnya. Riwayatnya sebatas bagaimana ia belajar dengan beberapa guru. Tidak secara spesifik menyebutkan tentang biografinya.
Ayahnya menjadi guru pertama dalam pengetahuan agama di Dayan (Madrasah) Simpang Kanan, di kawasan pedalaman Singkel. Selepas itu melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi di Barus (Dayan Tengku Chik) yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Di sekolah ini beliau belajar ilmu agama, sejarah, mantik, falsafah, sastra Arab/Melayu dan juga bahasa Parsi.
Setelah tamat kemudian meneruskan pengajian ke sekolah Samudra Pasai yang dipimpin oleh Syeikh Syamsuddin As Samathrani. Sewaktu Syamsuddin diangkat menjadi Qadli Malikul Adil (Kadi Besar) pada zaman Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah, Abdurrauf bertolak ke Mekah dan merantau ke beberapa buah negara Asia Barat lain untuk mendalami ilmu di sana.
Tercatat Syeikh Abdurauf pernah menjadi mufti Kerajaan Aceh ketika zaman Sultan Safiatuddin Tajul Alam (1641-1643). Atas dukungan Raja Safiatuddin, Abdurauf memulai perjalanan intelektualnya menuju tanah suci. Banyak pusat-pusat keilmuawan yang dikunjunginya sepanjang jalur perjalanan haji. Disamping itu, Syeikh Abdurauf tidak belajar secara formal dengan beberapa ulama. Perkenalannya dengan banyak tokoh ulama seperti Muhammad Al Babili dari Mesir dan Muhammad Al Barzanji dari Anatolia menjadi ladang pencarian ilmu secara informal. Syeikh Muhammad Al Babili merupakan salah satu ulama Muhadis terkemuka kala itu di Haramain. Adapaun Syeikh Muhammad al Barzanji dikenal sebagai sufi tersohor. Syeikh Abdurrauf tinggal selama 19 tahun di Mekah
Syeikh Abdurauf bercerita bahwa dirinya banyak mendapatkan ilmu “lahir’ dari Syeikh Ibrahim bin Abdullah Jam’an di Bait al faqih dan Mauza’. Lewat gurunya ini, ia berkenalan dengan tokoh tarekat seperti Syeikh Ahmad Qusyaysi dan Syeikh Ibrahim al Kurani. Lewat keduanya Syeikh Abdurauf mendapatkan ijazah tarekat Syatariyah. Tentang gurunya ini syikh Abdurrauf menyebutnya sebagai pembimbing spiritual di jalan Allah.
Sekitar tahun 1622 M Abdurrauf pulang kampung. Ia kemudian mengajarkan tarikat Syathariyah di daerahnya. Banyak santri yang berdatangan untuk berguru. Muridnyapun berasal dari berbagai daerah di wilayah Nusantara. Diantara muridnya yang paling terkenal adalah Syikh Burhanuddin Ulakan Sumatera Barat dan Syeikh Abdullah Muhyi, Pamijahan, Jawa Barat.
Pengaruhnya sangat penting di kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam kata-kata yang berbunyi “Adat bak peutus Merehum, syarak bak Syikeh di Kuala” maksudnya, “Adat di bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syeikh Kuala. Ayat ini mejelaskan betapa besarnya kuasa, peranan dan pengaruh Abdurrauf dalam pemerintahan ketika itu yang hampir sama besar dengan kuasa sultan. Ketika gabungan antara umara dan ulama inilah juga Aceh mencapai kegemilangan. Sementara itu Hamka yang juga ahli filosofi dan ulama moden Indonesia, di dalam tulisannya pernah menurunkan sebaris kata-kata yang dinukilkan oleh Fakih Shaghir seorang ulama terkenal di zaman Perang Paderi, yaitu nenek kepada Sheikh Taher Jalaluddin az-Azhari (meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar), yang berbunyi: “Maka adalah saya Fakih Shaghir menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan tertib waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah dan khutub lagi kasyaf lagi mempunyai keramat iaitu, di tanah Aceh iaitu Tuan Syeikh Abdurrauf.”
Mursyid Syatariyah
Sebagai ulama tasawuf, Syeikh Abdurauf tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tarekat Syatariyah. Hampir semua ordo tarekat Syatariyah di Nusantara silsilahnya berujung padanya. Tarekat ini tersebar mulai dari Aceh hinga ke Sumatera Barat. Kemudian berkembang menyusur ke Sumatera Selatan hingga Cirebon.
Dalam bertasawuf Abdurauf menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah SWT. Alam ciptaan-Nya adalah bayangan , yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda dengan wu jud bayangan (alam), terdapat keserupaan antara wujud ini. Tuhan melakukan tajali (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan secara tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif tampak sempurna pada Insan Kamil.
Syeikh Abdurauf juga sangat tidak sepakat dengan paham wahdatul wujud. Dalam bukunya yang berjudul Bayan Tajalli, Abdurrauf menyatakan bahwa betapapun asyiknya seorang hamba dengan Tuhan, Khalik dan makhluk tetap mempunyai arti sendiri. Banyak karya yang dihasilkan olehnya. Ada 21 kitab yang karya tulis telah dihasilkan yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf. Syeikh Abdurauf menulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al Mustafid diakui sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa Melayu. Mir’at at Tulab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al Wahhab merupakan salah satu kitabnya di bidang ilmu fiqih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan fikih Madzhab Syafiie. Kitab ini juga menjadi panduan para kadi di kerajaan Aceh.
Di bidang tasawuf, karyanya natara lain Kifayatul Al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al Muhtajin dan Umdat al Muhatajin Suluk Maslak al Mufridin. Kitab yang terakhir ini merupakan karya terpenting Syeikh Abdurauf. Kitab Umdat al Muhtajin Suluk maslak al Mufridin terdiri dari tujuh bab. Isinya memuat antara lain memuat tentang zikir, sifat-sifat Allah dan Rasul-Nyadan asal usul mistik. Di akhir buku dicantumkan tentang sedikit riwayat hidupnya. Syeikh Abdurauf wafat pada tahun 1643 dan dimakamkan di Kuala (muara) Banda Aceh. Hinnga kemudian makamnya dikenal dengan makam Syeikh Kuala. Selengkapnya..
Konon sewaktu bencana tsunami di Aceh tahun 2004 ada sesuatu peritiwa di luar nalar. Orang-orang yang berkumpul di makam Syaikh Kuala luput dari amukan air bah yang dahsyat. Padahal letak makam tersebut berada di pinggir pantai. Tentu saja cerita ini menjadi buah bibir masyarakat kala itu. Bahkan ada yang mengkeramatkannya. Syeikh Kuala memang tokoh yang dihormati dan mempunyai pengaruh hingga sekarang.
Syeikh Kuala memang bukan nama asing bagi masyarakat Aceh saja. Tetapi dikenal di seantero ranah Melayu dan dunia Islan international. Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf Singkel adalah tokoh tasawuf juga ahli fikih yang disegani. Lelaki asal Sinkel, Fansur Aceh Utara ini dikenal sebagai salah satu ulama produktif. Karyanya banyak mulai tasawuf hingga fikih. Pengaruhnya sangat besar dalam perkembangan Islam di Nusantara. Tak salah kalau menghormati jasanya namanya diabadikan menjadi nama universitas di Banda Aceh.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutnya sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab dalam membuka jaringan ulama Nusantara di dunia internasional. Berkat jasanya orang-orang Indonesia kemudian masuk dalam jajaran jaringan ulama dunia. Tidak salah kalau kemudian muncul nama-nama ulama besar seperti Syeikh Nawawi al Bantani, Syeikh Mahfudz At Tirimisi, dan lain-lain yang mempunyai reputasinya mendunia.
Kitabnya yang berjudul Umtad Al Muhtajin membuka mata kita bagaimana Syeikh Kuala membangun jaringan intelektualnya. Gurunya tersebar dari Yaman, Qatar, Aden hingga dataran Hejaz. Ia belajar tidak hanya ilmu “lahir’ saja tetapi juga ilmu”batin”. Kemasyuhrannya dalam penguasaan dua ilmu tersebut melahirkan banyak karya yang sampai sekarang masih menjadi bahan rujukan para ulama maupun cerdik pandai.
Patut disayangkan catatan tentang kehidupannya sangat minim. Kalaupun ada hanya sejarah lesan saja dan sedikit komentar dalam karya-karyanya. Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa Syeikh Kuala lahir di Singkel pada tahun 1035 H. Nama kampungnya ini kemudian melekat pada dirinya. Nama aslinya Abdurauf. Dalam dunia ulama Melayu atau Jawi namanya disebut sangat panjang yaitu Syeikh Abdurauf al Jawi Al Fansuri as Sinkili. Biografi ulama yang satu ini hanya bisa dilihat sekilas saja. Itupun hanya sepotong tulisan dalam berbagai kitabnya. Riwayatnya sebatas bagaimana ia belajar dengan beberapa guru. Tidak secara spesifik menyebutkan tentang biografinya.
Ayahnya menjadi guru pertama dalam pengetahuan agama di Dayan (Madrasah) Simpang Kanan, di kawasan pedalaman Singkel. Selepas itu melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi di Barus (Dayan Tengku Chik) yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Di sekolah ini beliau belajar ilmu agama, sejarah, mantik, falsafah, sastra Arab/Melayu dan juga bahasa Parsi.
Setelah tamat kemudian meneruskan pengajian ke sekolah Samudra Pasai yang dipimpin oleh Syeikh Syamsuddin As Samathrani. Sewaktu Syamsuddin diangkat menjadi Qadli Malikul Adil (Kadi Besar) pada zaman Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah, Abdurrauf bertolak ke Mekah dan merantau ke beberapa buah negara Asia Barat lain untuk mendalami ilmu di sana.
Tercatat Syeikh Abdurauf pernah menjadi mufti Kerajaan Aceh ketika zaman Sultan Safiatuddin Tajul Alam (1641-1643). Atas dukungan Raja Safiatuddin, Abdurauf memulai perjalanan intelektualnya menuju tanah suci. Banyak pusat-pusat keilmuawan yang dikunjunginya sepanjang jalur perjalanan haji. Disamping itu, Syeikh Abdurauf tidak belajar secara formal dengan beberapa ulama. Perkenalannya dengan banyak tokoh ulama seperti Muhammad Al Babili dari Mesir dan Muhammad Al Barzanji dari Anatolia menjadi ladang pencarian ilmu secara informal. Syeikh Muhammad Al Babili merupakan salah satu ulama Muhadis terkemuka kala itu di Haramain. Adapaun Syeikh Muhammad al Barzanji dikenal sebagai sufi tersohor. Syeikh Abdurrauf tinggal selama 19 tahun di Mekah
Syeikh Abdurauf bercerita bahwa dirinya banyak mendapatkan ilmu “lahir’ dari Syeikh Ibrahim bin Abdullah Jam’an di Bait al faqih dan Mauza’. Lewat gurunya ini, ia berkenalan dengan tokoh tarekat seperti Syeikh Ahmad Qusyaysi dan Syeikh Ibrahim al Kurani. Lewat keduanya Syeikh Abdurauf mendapatkan ijazah tarekat Syatariyah. Tentang gurunya ini syikh Abdurrauf menyebutnya sebagai pembimbing spiritual di jalan Allah.
Sekitar tahun 1622 M Abdurrauf pulang kampung. Ia kemudian mengajarkan tarikat Syathariyah di daerahnya. Banyak santri yang berdatangan untuk berguru. Muridnyapun berasal dari berbagai daerah di wilayah Nusantara. Diantara muridnya yang paling terkenal adalah Syikh Burhanuddin Ulakan Sumatera Barat dan Syeikh Abdullah Muhyi, Pamijahan, Jawa Barat.
Pengaruhnya sangat penting di kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam kata-kata yang berbunyi “Adat bak peutus Merehum, syarak bak Syikeh di Kuala” maksudnya, “Adat di bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syeikh Kuala. Ayat ini mejelaskan betapa besarnya kuasa, peranan dan pengaruh Abdurrauf dalam pemerintahan ketika itu yang hampir sama besar dengan kuasa sultan. Ketika gabungan antara umara dan ulama inilah juga Aceh mencapai kegemilangan. Sementara itu Hamka yang juga ahli filosofi dan ulama moden Indonesia, di dalam tulisannya pernah menurunkan sebaris kata-kata yang dinukilkan oleh Fakih Shaghir seorang ulama terkenal di zaman Perang Paderi, yaitu nenek kepada Sheikh Taher Jalaluddin az-Azhari (meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar), yang berbunyi: “Maka adalah saya Fakih Shaghir menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan tertib waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah dan khutub lagi kasyaf lagi mempunyai keramat iaitu, di tanah Aceh iaitu Tuan Syeikh Abdurrauf.”
Mursyid Syatariyah
Sebagai ulama tasawuf, Syeikh Abdurauf tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tarekat Syatariyah. Hampir semua ordo tarekat Syatariyah di Nusantara silsilahnya berujung padanya. Tarekat ini tersebar mulai dari Aceh hinga ke Sumatera Barat. Kemudian berkembang menyusur ke Sumatera Selatan hingga Cirebon.
Dalam bertasawuf Abdurauf menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah SWT. Alam ciptaan-Nya adalah bayangan , yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda dengan wu jud bayangan (alam), terdapat keserupaan antara wujud ini. Tuhan melakukan tajali (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan secara tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif tampak sempurna pada Insan Kamil.
Syeikh Abdurauf juga sangat tidak sepakat dengan paham wahdatul wujud. Dalam bukunya yang berjudul Bayan Tajalli, Abdurrauf menyatakan bahwa betapapun asyiknya seorang hamba dengan Tuhan, Khalik dan makhluk tetap mempunyai arti sendiri. Banyak karya yang dihasilkan olehnya. Ada 21 kitab yang karya tulis telah dihasilkan yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf. Syeikh Abdurauf menulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al Mustafid diakui sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa Melayu. Mir’at at Tulab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al Wahhab merupakan salah satu kitabnya di bidang ilmu fiqih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan fikih Madzhab Syafiie. Kitab ini juga menjadi panduan para kadi di kerajaan Aceh.
Di bidang tasawuf, karyanya natara lain Kifayatul Al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al Muhtajin dan Umdat al Muhatajin Suluk Maslak al Mufridin. Kitab yang terakhir ini merupakan karya terpenting Syeikh Abdurauf. Kitab Umdat al Muhtajin Suluk maslak al Mufridin terdiri dari tujuh bab. Isinya memuat antara lain memuat tentang zikir, sifat-sifat Allah dan Rasul-Nyadan asal usul mistik. Di akhir buku dicantumkan tentang sedikit riwayat hidupnya. Syeikh Abdurauf wafat pada tahun 1643 dan dimakamkan di Kuala (muara) Banda Aceh. Hinnga kemudian makamnya dikenal dengan makam Syeikh Kuala. Selengkapnya..
Syekh Hamzah Al Fanshuri, Aceh
Hampir semua pengkaji yang membicarakan tokoh ulama ini pada zaman moden, selalu merujuk kepada karya-karya Prof. Dr. Syed M. Naquib al-Attas. Barangkali dunia memang mengakui bahawa beliaulah orang yang paling banyak memperkenalkan Syeikh Hamzah al-Fansuri ke peringkat antarabangsa. Walau bagaimanapun apabila kita membaca keseluruhan karya Prof. Dr. Syed M. Naquib al-Attas yang membicarakan Syeikh Hamzah al-Fansuri, bukanlah berarti kita tidak perlu mentelaah karya-karya lain lagi, kerana apabila kita mentelaah karya-karya selainnya, terutama sekali yang masih berupa manuskrip, tentu sedikit sebanyak kita akan menemukan perkara-perkara baru yang belum dibicarakan. Karya terkini tentang Syeikh Hamzah al-Fansuri ialah buku yang diberi judul Tasawuf Yang Tertindas Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri. Buku setebal 444 halaman itu dikarang oleh Dr. Abdul Hadi W.M. dan terbitan pertama oleh Penerbit Paramadina, Jakarta, 2001. Sama ada karya-karya Prof. Dr. Syed M. Naquib al-Attas mahupun karya Dr. Abdul Hadi W.M., sedikit pun tiada menyentuh gambar Syeikh Hamzah al-Fansuri seperti yang tersebut di atas.
Asal-usul dan pendidikan
Prof. A. Hasymi pada penyelidikannya yang lebih awal bertentangan dengan hasil penyelidikannya yang terakhir. Penyelidikan awal, ayah Syeikh Hamzah al-Fansuri nampaknya tidak ada hubungan adik beradik dengan ayah Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri. Penyelidikan terakhir beliau mengatakan bahawa Syeikh Hamzah al-Fansuri itu adalah adik beradik dengan Syeikh Ali al-Fansuri. Syeikh Ali al-Fansuri adalah ayah kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri. Penyelidikan awal yang saya maksudkan ialah yang ditulis oleh Prof. A. Hasymi dalam Ruba’i Hamzah Fansuri yang dapat diambil pengertian daripada kalimatnya, “Ayah Hamzah pindah dari Fansur (Singkel) ke Barus untuk mengajar, kerana beliau juga seorang ulama besar, seperti halnya ayah Syeikh Abdur Rauf Fansuri yang juga ulama, sama-sama berasal dari Fansur (Singkel)” (terbitan DBP, 1976, hlm. 11). Mengenai penyelidikan Prof. A. Hasymi yang menyebut Syeikh Hamzah al-Fansuri saudara Syeikh Ali al-Fansuri atau Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri adalah anak saudara kepada Syeikh Hamzah al-Fansuri, dapat dirujuk kepada kata pengantar buku Hamzah Fansuri Penyair Sufi Aceh karya Abdul Hadi W.M. Dan L. K. Ara, diterbitkan oleh Penerbit Lotkala, tanpa menyebut tempat dan tarikh.
Walaupun Prof. A. Hasymi belum memberikan suatu pernyataan tegas bahawa beliau memansukhkan tulisannya yang disebut dalam Ruba’i Hamzah Fansuri, namun kita terpaksa memakai penyelidikan terakhir seperti yang telah dijelaskan di atas. Dr. Azyumardi Azra dalam bukunya, Jaringan Ulama mengatakan bahawa beliau tidak yakin bahawa Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu benar-benar keponakan (anak saudara) Syeikh Hamzah al-Fansuri. “Sebab, menurutnya, tidak ada sumber lain yang mendukung hal itu.” Bagi saya ia masih boleh dibicarakan dan perlu penelitian yang lebih sempurna dan berkesinambungan. Sebab yang dinamakan sumber pendukung sesuatu pendapat, bukan hanya berdasarkan tulisan tetapi termasuklah cerita yang mutawatir. Kemungkinan Prof. A. Hasymi yang berasal dari Aceh itu lebih banyak mendapatkan cerita yang mutawatir berbanding penelitian barat yang banyak disebut oleh Azra. Diterima atau tidak oleh pengkaji selain beliau, terpulanglah ijtihad masing-masing orang yang berkenaan.
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahawa Syeikh Hamzah Fansuri hidup sampai akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda ternyata juga ada perubahan daripada tulisan beliau yang termaktub dalam Ruba’i Hamzah Fansuri‚ selengkapnya, “Hanya yang sudah pasti, bahawa beliau hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M).” Yang dimaksudkan dengan “ternyata juga ada perubahan”, ialah pada kalimat, ” sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda,” menjadi kalimat “akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda.”
Tarikh lahir Syeikh Hamzah al-Fansuri secara tepat belum dapat dipastikan, adapun tempat kelahirannya ada yang menyebut Barus atau Fansur. Disebut lebih terperinci oleh Prof. A. Hasymi bahawa Fansur itu satu kampung yang terletak antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan). Dalam zaman Kerajaan Aceh Darussalam, kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bahagian Aceh Selatan. Pendapat lain menyebut bahawa beliau dilahirkan di Syahrun Nawi atau Ayuthia di Siam dan berhijrah serta menetap di Barus.
Drs. Abdur Rahman al-Ahmadi dalam kertas kerjanya menyebut bahawa ayah Syeikh Hamzah al-Fansuri bernama Syeikh Ismail Aceh bersama Wan Ismail dan Po Rome atau Po Ibrahim (1637- 1687 M) meninggal dunia dalam pertempuran melawan orang Yuwun (Annam) di Phanrang. Bahawa Syeikh Ismail Aceh itu pernah menjadi gabenor di Kota Sri Banoi menggantikan Gabenor Wan Ismail asal Patani yang melepaskan jabatan itu kerana usianya yang lanjut. Drs. Abdur Rahman Al-Ahmadi berpendapat baru, dengan menambah Syahrun Nawi itu di Sri Banoi Sri Vini, selain yang telah disebutkan oleh ramai penulis bahawa Syahrun Nawi adalah di Siam atau Aceh. Dalam Patani, iaitu antara perjalanan dari Patani ke Senggora memang terdapat satu kampung yang dinamakan Nawi, berkemungkinan dari kampung itulah yang dimaksudkan seperti yang termaktub dalam syair Syeikh Hamzah al-Fansuri yang menyebut nama Syahrun Nawi itu. Kampung Nawi di Patani itu barangkali nama asalnya memang Syahrun Nawi, lalu telah diubah oleh Siam hingga bernama Nawi saja. Syahrun Nawi adalah di Patani masih boleh diambil kira, kerana pada zaman dulu Patani dan sekitarnya adalah suatu kawasan yang memang ramai ulamanya. Saya telah sampai ke kampung tersebut (1992), berkali-kali kerana mencari manuskrip lama. Beberapa buah manuskrip memang saya peroleh di kampung itu. Lagi pula antara Aceh dan Patani sejak lama memang ada hubungan yang erat sekali. Walau bagaimanapun Prof. A. Hasymi menyebut bahawa Syahrun Nawi itu adalah nama dari Aceh sebagai peringatan bagi seorang Pangeran dari Siam yang datang ke Aceh pada masa silam yang bernama Syahir Nuwi, yang membangun Aceh pada zaman sebelum Islam.
Daripada berbagai-bagai sumber disebutkan bahawa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai-bagai ilmu yang memakan masa lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut bahawa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab. Dikatakan bahawa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikah, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastera dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu, berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.
Karya-keryanya
Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat digolongkan kepada peringkat awal dalam menghasilkan karya puisi/sastera dalam bahasa Melayu, sangat menonjol terutama sekali dalam sektor sufi. Lebih terserlah lagi kemasyhurannya kerana terjadi kontroversi yang dilemparkan oleh orang-orang yang tidak sependapat dengannya yang dimulai dengan karya-karya Syeikh Nuruddin ar-Raniri, berlanjutan terus hingga sampai ke hari ini karya-karya Syeikh Hamzah al-Fansuri selalu dibicarakan dalam forum-forum ilmiah. Di bawah ini saya cuba menyenaraikan karya beliau yang telah diketahui, iaitu: 1). Syarb al- ‘Asyiqin atau Zinatul Muwahhidin. 2). Asrar al-’Arifin fi Bayan ‘Ilm as-Suluk wa at-Tauhid. 3). Al-Muntahi. 4). Ruba’i Hamzah Fansuri. 5). Kasyf Sirri Tajalli ash-Shibyan. 6). Kitab fi Bayani Ma’rifah. 7). Syair Si Burung Pingai. 8). Syair Si Burung Pungguk. 9). Syair Sidang Faqir. 10). Syair Dagang. 11). Syair Perahu. 12). Syair Ikan Tongkol. Keterangan lengkap mengenai data karya Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat dirujuk dalam buku yang saya susun berjudul Al-Ma’rifah Pelbagai Aspek Tasawuf Nusantara, jilid 1. Senarai yang tersebut di atas merupakan maklumat yang terlengkap buat sementara dan akan ditambah lagi jika terdapat maklumat baru yang belum termuat dalam senarai di atas.
Mengakhiri artikel ini di sini perlu dijelaskan bahawa makam Syeikh Hamzah al-Fansuri telah ditemui sebagaimana ditulis oleh Dada Meuraxa: “Di satu kampung yang bernama Obor terletak di hulu Sungai Singkil, terdapat makam ulama dan pujangga Hamzah Fansuri. Makam itu bertulis: Inilah makam Hamzah Fansuri mursit Syeikh Abdurrauf = Hamzah Fansuri guru Syeikh Abdur Rauf.”
Mengenai tahun wafat Syeikh Hamzah al-Fansuri secara tepat selama ini tidak pernah disebut. Tetapi Azra dalam Jaringan Ulama menyebut bahawa ulama sufi itu wafat pada tahun 1016 H/1607 M. Disebutkan tahunnya itu disekalikannya membantah bahawa Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri (Al-Sinkili, menurut istilahnya) “tidak mungkin bertemu dengan ulama sufi itu”, menurutnya “Al-Sinkili bahkan belum lahir”.
Seolah-olah Azra menolak mentah-mentah tahun kelahiran Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri yang disebut oleh A. Hasymi tahun 1001 H/1592 M itu, kemungkinan dia berpegang pada tahun kelahiran 1024 H/1615 M, atau pendapat lain 1620 M, sedangkan tahun kewafatan Syeikh Hamzah al-Fansuri yang disebutnya 1016 H/1607 M itu belum juga tentu betul. Wallahu a’lam. Selengkapnya..
Asal-usul dan pendidikan
Prof. A. Hasymi pada penyelidikannya yang lebih awal bertentangan dengan hasil penyelidikannya yang terakhir. Penyelidikan awal, ayah Syeikh Hamzah al-Fansuri nampaknya tidak ada hubungan adik beradik dengan ayah Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri. Penyelidikan terakhir beliau mengatakan bahawa Syeikh Hamzah al-Fansuri itu adalah adik beradik dengan Syeikh Ali al-Fansuri. Syeikh Ali al-Fansuri adalah ayah kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri. Penyelidikan awal yang saya maksudkan ialah yang ditulis oleh Prof. A. Hasymi dalam Ruba’i Hamzah Fansuri yang dapat diambil pengertian daripada kalimatnya, “Ayah Hamzah pindah dari Fansur (Singkel) ke Barus untuk mengajar, kerana beliau juga seorang ulama besar, seperti halnya ayah Syeikh Abdur Rauf Fansuri yang juga ulama, sama-sama berasal dari Fansur (Singkel)” (terbitan DBP, 1976, hlm. 11). Mengenai penyelidikan Prof. A. Hasymi yang menyebut Syeikh Hamzah al-Fansuri saudara Syeikh Ali al-Fansuri atau Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri adalah anak saudara kepada Syeikh Hamzah al-Fansuri, dapat dirujuk kepada kata pengantar buku Hamzah Fansuri Penyair Sufi Aceh karya Abdul Hadi W.M. Dan L. K. Ara, diterbitkan oleh Penerbit Lotkala, tanpa menyebut tempat dan tarikh.
Walaupun Prof. A. Hasymi belum memberikan suatu pernyataan tegas bahawa beliau memansukhkan tulisannya yang disebut dalam Ruba’i Hamzah Fansuri, namun kita terpaksa memakai penyelidikan terakhir seperti yang telah dijelaskan di atas. Dr. Azyumardi Azra dalam bukunya, Jaringan Ulama mengatakan bahawa beliau tidak yakin bahawa Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu benar-benar keponakan (anak saudara) Syeikh Hamzah al-Fansuri. “Sebab, menurutnya, tidak ada sumber lain yang mendukung hal itu.” Bagi saya ia masih boleh dibicarakan dan perlu penelitian yang lebih sempurna dan berkesinambungan. Sebab yang dinamakan sumber pendukung sesuatu pendapat, bukan hanya berdasarkan tulisan tetapi termasuklah cerita yang mutawatir. Kemungkinan Prof. A. Hasymi yang berasal dari Aceh itu lebih banyak mendapatkan cerita yang mutawatir berbanding penelitian barat yang banyak disebut oleh Azra. Diterima atau tidak oleh pengkaji selain beliau, terpulanglah ijtihad masing-masing orang yang berkenaan.
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahawa Syeikh Hamzah Fansuri hidup sampai akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda ternyata juga ada perubahan daripada tulisan beliau yang termaktub dalam Ruba’i Hamzah Fansuri‚ selengkapnya, “Hanya yang sudah pasti, bahawa beliau hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M).” Yang dimaksudkan dengan “ternyata juga ada perubahan”, ialah pada kalimat, ” sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda,” menjadi kalimat “akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda.”
Tarikh lahir Syeikh Hamzah al-Fansuri secara tepat belum dapat dipastikan, adapun tempat kelahirannya ada yang menyebut Barus atau Fansur. Disebut lebih terperinci oleh Prof. A. Hasymi bahawa Fansur itu satu kampung yang terletak antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan). Dalam zaman Kerajaan Aceh Darussalam, kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bahagian Aceh Selatan. Pendapat lain menyebut bahawa beliau dilahirkan di Syahrun Nawi atau Ayuthia di Siam dan berhijrah serta menetap di Barus.
Drs. Abdur Rahman al-Ahmadi dalam kertas kerjanya menyebut bahawa ayah Syeikh Hamzah al-Fansuri bernama Syeikh Ismail Aceh bersama Wan Ismail dan Po Rome atau Po Ibrahim (1637- 1687 M) meninggal dunia dalam pertempuran melawan orang Yuwun (Annam) di Phanrang. Bahawa Syeikh Ismail Aceh itu pernah menjadi gabenor di Kota Sri Banoi menggantikan Gabenor Wan Ismail asal Patani yang melepaskan jabatan itu kerana usianya yang lanjut. Drs. Abdur Rahman Al-Ahmadi berpendapat baru, dengan menambah Syahrun Nawi itu di Sri Banoi Sri Vini, selain yang telah disebutkan oleh ramai penulis bahawa Syahrun Nawi adalah di Siam atau Aceh. Dalam Patani, iaitu antara perjalanan dari Patani ke Senggora memang terdapat satu kampung yang dinamakan Nawi, berkemungkinan dari kampung itulah yang dimaksudkan seperti yang termaktub dalam syair Syeikh Hamzah al-Fansuri yang menyebut nama Syahrun Nawi itu. Kampung Nawi di Patani itu barangkali nama asalnya memang Syahrun Nawi, lalu telah diubah oleh Siam hingga bernama Nawi saja. Syahrun Nawi adalah di Patani masih boleh diambil kira, kerana pada zaman dulu Patani dan sekitarnya adalah suatu kawasan yang memang ramai ulamanya. Saya telah sampai ke kampung tersebut (1992), berkali-kali kerana mencari manuskrip lama. Beberapa buah manuskrip memang saya peroleh di kampung itu. Lagi pula antara Aceh dan Patani sejak lama memang ada hubungan yang erat sekali. Walau bagaimanapun Prof. A. Hasymi menyebut bahawa Syahrun Nawi itu adalah nama dari Aceh sebagai peringatan bagi seorang Pangeran dari Siam yang datang ke Aceh pada masa silam yang bernama Syahir Nuwi, yang membangun Aceh pada zaman sebelum Islam.
Daripada berbagai-bagai sumber disebutkan bahawa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai-bagai ilmu yang memakan masa lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut bahawa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab. Dikatakan bahawa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikah, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastera dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu, berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.
Karya-keryanya
Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat digolongkan kepada peringkat awal dalam menghasilkan karya puisi/sastera dalam bahasa Melayu, sangat menonjol terutama sekali dalam sektor sufi. Lebih terserlah lagi kemasyhurannya kerana terjadi kontroversi yang dilemparkan oleh orang-orang yang tidak sependapat dengannya yang dimulai dengan karya-karya Syeikh Nuruddin ar-Raniri, berlanjutan terus hingga sampai ke hari ini karya-karya Syeikh Hamzah al-Fansuri selalu dibicarakan dalam forum-forum ilmiah. Di bawah ini saya cuba menyenaraikan karya beliau yang telah diketahui, iaitu: 1). Syarb al- ‘Asyiqin atau Zinatul Muwahhidin. 2). Asrar al-’Arifin fi Bayan ‘Ilm as-Suluk wa at-Tauhid. 3). Al-Muntahi. 4). Ruba’i Hamzah Fansuri. 5). Kasyf Sirri Tajalli ash-Shibyan. 6). Kitab fi Bayani Ma’rifah. 7). Syair Si Burung Pingai. 8). Syair Si Burung Pungguk. 9). Syair Sidang Faqir. 10). Syair Dagang. 11). Syair Perahu. 12). Syair Ikan Tongkol. Keterangan lengkap mengenai data karya Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat dirujuk dalam buku yang saya susun berjudul Al-Ma’rifah Pelbagai Aspek Tasawuf Nusantara, jilid 1. Senarai yang tersebut di atas merupakan maklumat yang terlengkap buat sementara dan akan ditambah lagi jika terdapat maklumat baru yang belum termuat dalam senarai di atas.
Mengakhiri artikel ini di sini perlu dijelaskan bahawa makam Syeikh Hamzah al-Fansuri telah ditemui sebagaimana ditulis oleh Dada Meuraxa: “Di satu kampung yang bernama Obor terletak di hulu Sungai Singkil, terdapat makam ulama dan pujangga Hamzah Fansuri. Makam itu bertulis: Inilah makam Hamzah Fansuri mursit Syeikh Abdurrauf = Hamzah Fansuri guru Syeikh Abdur Rauf.”
Mengenai tahun wafat Syeikh Hamzah al-Fansuri secara tepat selama ini tidak pernah disebut. Tetapi Azra dalam Jaringan Ulama menyebut bahawa ulama sufi itu wafat pada tahun 1016 H/1607 M. Disebutkan tahunnya itu disekalikannya membantah bahawa Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri (Al-Sinkili, menurut istilahnya) “tidak mungkin bertemu dengan ulama sufi itu”, menurutnya “Al-Sinkili bahkan belum lahir”.
Seolah-olah Azra menolak mentah-mentah tahun kelahiran Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri yang disebut oleh A. Hasymi tahun 1001 H/1592 M itu, kemungkinan dia berpegang pada tahun kelahiran 1024 H/1615 M, atau pendapat lain 1620 M, sedangkan tahun kewafatan Syeikh Hamzah al-Fansuri yang disebutnya 1016 H/1607 M itu belum juga tentu betul. Wallahu a’lam. Selengkapnya..
Syekh Abdullah Arif, Aceh
NEGERI-negeri pertama di Nusantara atau dunia Melayu memeluk agama Islam ialah Aceh, Kedah dan Patani. Berbagai-bagai teori tentang kedatangan Islam di dunia Melayu. Ada sarjana berpendapat kedatangan Islam langsung dari tanah Arab.
Pendapat yang lain pula menyebut datang dari India, terutama dari Malabar dan Gujerat.
Syeikh Ahmad al-Fathani dalam Hadiqah al-Azhar wa ar-Rayahin menyebut ia juga diperanani oleh bangsa Arab-Andalus. Ada juga pendapat yang menyebut dari negeri China. Semua pendapat saya tinggalkan saja, yang dibicarakan di sini ialah bahawa daripada sekian ramai penyebar Islam yang datang di Aceh itu ialah Syeikh Abdullah Arif dan yang di Kedah pula Syeikh Abdullah al-Qumairi.
Kedua-dua ulama yang tersebut hidup sezaman dengan seorang Wali Allah yang sangat terkenal, ialah Syeikh Abdul Qadir al-Jilani. Tokoh-tokoh Islam yang datang di dunia Melayu sebahagian besar adalah diperanani oleh ulama sufi. Sebagai bukti bahawa mereka lebih mengutamakan tasawuf sekurang-kurangnya dapat dibuktikan dengan sebuah karya tulis judul Bahr al-Lahut yang dikarang oleh Syeikh Abdullah Arif. Hingga abad yang ke-16, ajaran tasawuf masih mendominasi seluruh aspek dalam pendidikan Islam, persuratan, dan kehidupan masyarakat Melayu terutama di Aceh. Pada abad ke-16 hingga 17, hampir seluruh karya Syeikh Hamzah al-Fansuri adalah tentang tasawuf belaka. Bahkan kesan kekukuhan ajaran tasawuf masih dapat dirasakan hingga pada zaman ini.
Syeikh Abdullah Arif adalah seorang pendatang dari bumi Arab ke Aceh bersama sekian ramai mubaligh lainnya. Ada orang meriwayatkan bahawa di antara sahabat Syeikh Abdullah Arif ialah Syeikh Ismail Zaffi. Barangkali Syeikh Abdullah Arif ada hubungan atau pernah berkenalan atau pun menjadi murid seorang Wali Allah yang terkenal iaitu Syeikh Abdul Qadir al-Jilani (lahir 471 H/1079 M, wafat 561 H/1166 M).
Syeikh Abdul Qadir al-Jilani juga pernah sampai di Aceh, demikian menurut H.M. Zainuddin dalam buku Aceh dan Nusantara. Memperhatikan tahun wafat Syeikh Abdul Qadir al-Jilani 561 H/1166 M dengan salah satu pendapat yang menyebut bahawa Syeikh Abdullah Arif tiba di Aceh tahun 560 H/ 1165 M (setahun sebelum kewafatan Syeikh Abdul Qadir al-Jilani), bererti dapat dipastikan sekurang-kurangnya kedua-dua ulama itu hidup sezaman.
Tersebut dalam sebuah majalah ilmiah yang diterbitkan di Mekah al-Mukarramah Zulhijjah 1356 H bersamaan Februari 1938 M, an-Nida' al-Islami, bahawa yang mula-mula penyebar agama Islam bangsa asing datang ke Sumatera ialah seorang dari Mekah iaitu Syeikh Abdullah Arif pada abad ke-13 Masihi.
Pedagang Mekah
Syeikh itu seorang pedagang di antara beberapa pedagang Mekah. Kedatangannya itu membawa pelbagai barangan yang dihasilkan di negeri Hijaz, seperti pelbagai jenis kurma, kulit kambing dan lain-lain. Syeikh Abdullah Arif itu membawa barang-barangnya turun di Sumatera Utara (Aceh), dia diterima oleh masyarakat di sana.
Disebabkan rasa tanggungjawab untuk menyebarkan Islam, dan sebab yang lain penduduk Aceh zaman itu sangat mesra bergaul dengan orang-orang Arab, termasuk Syeikh Abdullah Arif, maka mereka saling rasa terhutang budi. Oleh hal yang demikian, Syeikh Abdullah Arif dan orang-orang Arab yang lain, tertutup hati mereka untuk kembali ke negeri mereka atau pun merantau ke tempat yang lainnya.
Diriwayatkan pula bahawa Syeikh Abdullah Arif mula memberi pendidikan kepada masyarakat, ramai yang masuk Islam dan ramai pula muridnya. Murid-murid Syeikh Abdullah Arif menyebarkan Islam di pantai Barat pulau Sumatera, daerah Minangkabau.
Di antara murid beliau yang terkenal ialah Syeikh Burhanuddin. Syeikh Burhanuddin adalah yang pertama menyebarkan Islam di Sumatera Barat (Minangkabau). Kuburnya dijumpai di Kuntu di tepi Sungai Kampar Kiri (tahun wafat 610 H/1214 M). Syeikh Burhanuddin murid Syeikh Abdullah Arif ini lain dari Syeikh Burhanuddin Ulakkan murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri.
Dalam buku prosiding Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, mencatatkan tahun kedatangan Syeikh Abdullah Arif itu, dinyatakan bahwa menurut hikayat yang bersumber kita sendiri seorang pengembang Arab bernama Syeikh Abdullah Arif sudah memulai pengembangan itu pada tahun Masihi 1177.
Dalam an-Nida’ al-Islami pula pula menyebut tahun 1170 M, berdasarkan penyelidikan seorang sarjana Jerman. Penyelidikan yang terkini ada pendapat lain tentang ketibaan Syeikh Abdullah Arif di Aceh, ialah tahun 506 H/1111 M dan tahun 560 H/1165 M. Tentang kubur Syeikh Abdullah Arif, H.M. Zainuddin menulis, bahawa “ada lagi satu kompleks kuburan yang bernama Jeurut Kling (Kuburan Keling). Di antara kuburan itu oleh seorang perempuan tua yang menyebut kubur Keling itu, namanya didengar dari orang-orang yang melepaskan nazar dulu disebut Abdullah Arif.”
Timur Sumatera
Di negeri-negeri di pantai timur pulau Sumatera pula Syeikh Abdullah Arif tidak mengirim murid-muridnya, kerana ketika itu telah ada seorang bernama Johan Syah yang diutus oleh Sultan Aceh sendiri. Setelah memeluk agama Islam, Johan Syah menukar namanya kepada Ali Mandayat.
Beliau mendapat pendidikan Islam di India. Ali Mandayat menerima rintangan yang banyak dari penduduk yang belum beragama dan ada juga yang beragama Hindu. Oleh itu beliau terpaksa menyebarkan Islam dengan jalan berpindah-randah dari satu kampung ke kampung. Ali Mandayat berhasil mengirim utusan belajar ke Mekah al-Mukarramah.
Akhirnya Raja Mekah mengirim Syeikh Ismail ke Sumatera di bahagian pantai timur itu. Dalam waktu yang relatif singkat dan cepat, hanya sekitar 50 tahun sesudah aktiviti Ali Mandayat itu, agama Islam tersebar hampir ke seluruh pulau Sumatera.
Syeikh Abdullah Arif barangkali termasuk salah seorang penulis berbagai-bagai kitab tentang sufi, tetapi yang baru diketahui hanya sebuah, iaitu karyanya yang berjudul Bahr al-Lahut. Kitab Bahr al-Lahut ditulis dengan bahasa Arab. Hanya sebuah naskhah atau manuskrip dalam bahasa Arab dijumpai manakala naskhah atau manuskrip yang diterjemah ke bahasa Melayu terdapat beberapa buah.
Naskhah bahasa Arab pernah dimiliki oleh Syeikh Yusuf Tajul Khalwati Makasar. Berdasarkan tahun kedatangan Syeikh Abdullah Arif di dunia Melayu dapat disimpulkan bahawa Bahr al-Lahut adalah risalah yang pertama sekali ditulis di rantau ini.
Nur Muhammad
Manuskrip dalam bahasa Arab adalah salinan yang diusahakan oleh Syeikh Yusuf Tajul Khalwati Makasar. Secara umum kandungan Bahr al-Lahut adalah membicarakan akidah, tasawuf dan kejadian alam semesta. Dimulakan dengan kisah kejadian Nur Muhammad, dilanjutkan dengan kejadian alam semesta, tujuh petala langit, tujuh petala bumi, alam yang nyata dan alam yang ghaib.
Allah mengangkat darjat Nabi Muhammad s.a.w. pada sisi keagungan-Nya. Nabi Muhammad s.a.w. adalah makhluk Allah yang paling tinggi kedudukannya berbanding semua makhluk yang dijadikan oleh Allah s.w.t.. Nabi Muhammad s.a.w. adalah Nabi yang awal pada kejadian Nur dan Nabi yang akhir pada kejadian sebagai utusan Allah di permukaan bumi.
Tiada Nabi yang lain sesudah Nabi Muhammad s.a.w. Allah menjadikan itu sekeliannya daripada Nur al-Wilayah dan Nur an-Nubuwah. Bahawa Nur al-Wilayah dan Nur an-Nubuwah itu adalah sifat Nabi Muhammad s.a.w.. Nur al-Wilayah itu tempatnya pada batin (tersembunyi) sedang Nur an-Nubuwah itu tempatnya pada zahir (nyata).
Sesungguhnya ada lagi yang dinamakan jauhar. Bahawa jauhar yang pertama dinamakan Alam al-Kabir (Alam Besar). Selain itu Allah menjadikan sekalian rangkaian susunan kejadian kosmos yang dinamakan Arasy, Kursi, Lauh al-Mahfuz, kalam, Samawat (Langit), al-Ardh (Bumi), an-Nujum (bintang-bintang), syurga dan neraka berserta sekelian penghuni dan isinya.
Segala kejadian itu adalah ajaib belaka. Ada pun bumi dihuni oleh sekalian bangsa manusia, haiwan, jin dan syaitan. Dari semua nama yang disebutkan itu, mulai Arasy dan seterusnya hanya bumi saja paling banyak digunakan manusia, kerana bumi adalah tempat kediaman mereka.
Walaupun ada usaha-usaha manusia mengharungi angkasa luar hingga berusaha melakukan penyelidikan ke bulan dan planet-planet lainnya, namun pencapaian yang dapat dijangkau oleh kebanyakan manusia hanyalah dalam bumi juga.
Manusia diberi akal oleh Allah s.w.t. untuk mencapai segala-galanya, dengan tidak menafikan kemampuan tentang dunia, namun pada hakikatnya pengetahuan manusia tentang keseluruhan yang ada pada bumi sendiri pun tidak akan habis-habisnya untuk diselidiki dan digarap untuk kepentingan manusia.
Pegangan akidah
Pegangan akidah Syeikh Abdullah Arif adalah sama dengan pegangan ulama-ulama Ahli Sunah wal Jamaah yang muktabar, tentang tiada sesuatu yang tersembunyi bagi Allah s.w.t. Lalu beliau memetik pendapat yang beliau namakan ahlus sirri (maksudnya orang-orang yang dapat mengetahui perkara-perkara rahsia hakikat). Menurut Syeikh Abdullah Arif ahlus sirri berkata: “Ada pun Allah s.w.t itu melihat pada jauh dan melihat pada hampir sekeliannya.”
Pengertian Syeikh Abdullah Arif tentang syahadat pula beliau huraikan sebagai berikut: “Berkata ahli al-musyahadah, adapun tempat syahadat itu, bahawa melihat ia bagi dirinya, maka tiada dapat tiada segala orang yang Mukmin dipandang yang demikian itu, maka sahlah pandangannya seperti Allah dan Rasul-Nya.” Yakni diumpamakan seperti orang melihat sehari bulan dan melihat purnama bulan dengan penuhnya.
Maka telah berkata orang ahlul isyarah: “Ada pun sehari bulan itulah hendak menjadikan purnama bulan adanya.”
Selanjutnya dihuraikan pula tentang Islam, kata beliau, “ketahui olehmu bahawa Islam dan kamal al-Islam (kesempurnaan Islam) itu adalah dikukuhkan daripada kalimah syahadah.” Ada pun kamal al-Islam itu, maka memandang yang sebenar-benarnya, tulus dan ikhlasnya, iaitu mukmin dengan sebenar-benarnya kerana penglihatan itu seperti sabda Nabi s.a.w., Barang siapa berfikir dengan sekejap mata sekalipun, kerana memikirkan Allah Taala, maka terlebih baik daripada berbuat ibadat 1,000 tahun lamanya.
Syeikh Abdullah Arif membahas selanjutnya, Maka telah berkata orang ahl al-Muqabalah, “Jadikan dirimu dengan perintah tuhanmu dengan sempurna adamu dengan Qudrat tuhanmu. Maka dijadikan diri kamu itu sebagai tempat kenyataan kenal kepada tuhanmu.”
Untuk menguatkan pegangan Syeikh Abdullah Arif menggunakan dalil firman Allah, Tiap-tiap sesuatu itu binasa jua, melainkan yang tiada binasa hanya Allah, bagi-Nya kekuasaan menentukan hukum, dan kepada-Nya kamu dikembalikan. (Al-Qasas: 88). Selengkapnya..
Pendapat yang lain pula menyebut datang dari India, terutama dari Malabar dan Gujerat.
Syeikh Ahmad al-Fathani dalam Hadiqah al-Azhar wa ar-Rayahin menyebut ia juga diperanani oleh bangsa Arab-Andalus. Ada juga pendapat yang menyebut dari negeri China. Semua pendapat saya tinggalkan saja, yang dibicarakan di sini ialah bahawa daripada sekian ramai penyebar Islam yang datang di Aceh itu ialah Syeikh Abdullah Arif dan yang di Kedah pula Syeikh Abdullah al-Qumairi.
Kedua-dua ulama yang tersebut hidup sezaman dengan seorang Wali Allah yang sangat terkenal, ialah Syeikh Abdul Qadir al-Jilani. Tokoh-tokoh Islam yang datang di dunia Melayu sebahagian besar adalah diperanani oleh ulama sufi. Sebagai bukti bahawa mereka lebih mengutamakan tasawuf sekurang-kurangnya dapat dibuktikan dengan sebuah karya tulis judul Bahr al-Lahut yang dikarang oleh Syeikh Abdullah Arif. Hingga abad yang ke-16, ajaran tasawuf masih mendominasi seluruh aspek dalam pendidikan Islam, persuratan, dan kehidupan masyarakat Melayu terutama di Aceh. Pada abad ke-16 hingga 17, hampir seluruh karya Syeikh Hamzah al-Fansuri adalah tentang tasawuf belaka. Bahkan kesan kekukuhan ajaran tasawuf masih dapat dirasakan hingga pada zaman ini.
Syeikh Abdullah Arif adalah seorang pendatang dari bumi Arab ke Aceh bersama sekian ramai mubaligh lainnya. Ada orang meriwayatkan bahawa di antara sahabat Syeikh Abdullah Arif ialah Syeikh Ismail Zaffi. Barangkali Syeikh Abdullah Arif ada hubungan atau pernah berkenalan atau pun menjadi murid seorang Wali Allah yang terkenal iaitu Syeikh Abdul Qadir al-Jilani (lahir 471 H/1079 M, wafat 561 H/1166 M).
Syeikh Abdul Qadir al-Jilani juga pernah sampai di Aceh, demikian menurut H.M. Zainuddin dalam buku Aceh dan Nusantara. Memperhatikan tahun wafat Syeikh Abdul Qadir al-Jilani 561 H/1166 M dengan salah satu pendapat yang menyebut bahawa Syeikh Abdullah Arif tiba di Aceh tahun 560 H/ 1165 M (setahun sebelum kewafatan Syeikh Abdul Qadir al-Jilani), bererti dapat dipastikan sekurang-kurangnya kedua-dua ulama itu hidup sezaman.
Tersebut dalam sebuah majalah ilmiah yang diterbitkan di Mekah al-Mukarramah Zulhijjah 1356 H bersamaan Februari 1938 M, an-Nida' al-Islami, bahawa yang mula-mula penyebar agama Islam bangsa asing datang ke Sumatera ialah seorang dari Mekah iaitu Syeikh Abdullah Arif pada abad ke-13 Masihi.
Pedagang Mekah
Syeikh itu seorang pedagang di antara beberapa pedagang Mekah. Kedatangannya itu membawa pelbagai barangan yang dihasilkan di negeri Hijaz, seperti pelbagai jenis kurma, kulit kambing dan lain-lain. Syeikh Abdullah Arif itu membawa barang-barangnya turun di Sumatera Utara (Aceh), dia diterima oleh masyarakat di sana.
Disebabkan rasa tanggungjawab untuk menyebarkan Islam, dan sebab yang lain penduduk Aceh zaman itu sangat mesra bergaul dengan orang-orang Arab, termasuk Syeikh Abdullah Arif, maka mereka saling rasa terhutang budi. Oleh hal yang demikian, Syeikh Abdullah Arif dan orang-orang Arab yang lain, tertutup hati mereka untuk kembali ke negeri mereka atau pun merantau ke tempat yang lainnya.
Diriwayatkan pula bahawa Syeikh Abdullah Arif mula memberi pendidikan kepada masyarakat, ramai yang masuk Islam dan ramai pula muridnya. Murid-murid Syeikh Abdullah Arif menyebarkan Islam di pantai Barat pulau Sumatera, daerah Minangkabau.
Di antara murid beliau yang terkenal ialah Syeikh Burhanuddin. Syeikh Burhanuddin adalah yang pertama menyebarkan Islam di Sumatera Barat (Minangkabau). Kuburnya dijumpai di Kuntu di tepi Sungai Kampar Kiri (tahun wafat 610 H/1214 M). Syeikh Burhanuddin murid Syeikh Abdullah Arif ini lain dari Syeikh Burhanuddin Ulakkan murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri.
Dalam buku prosiding Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, mencatatkan tahun kedatangan Syeikh Abdullah Arif itu, dinyatakan bahwa menurut hikayat yang bersumber kita sendiri seorang pengembang Arab bernama Syeikh Abdullah Arif sudah memulai pengembangan itu pada tahun Masihi 1177.
Dalam an-Nida’ al-Islami pula pula menyebut tahun 1170 M, berdasarkan penyelidikan seorang sarjana Jerman. Penyelidikan yang terkini ada pendapat lain tentang ketibaan Syeikh Abdullah Arif di Aceh, ialah tahun 506 H/1111 M dan tahun 560 H/1165 M. Tentang kubur Syeikh Abdullah Arif, H.M. Zainuddin menulis, bahawa “ada lagi satu kompleks kuburan yang bernama Jeurut Kling (Kuburan Keling). Di antara kuburan itu oleh seorang perempuan tua yang menyebut kubur Keling itu, namanya didengar dari orang-orang yang melepaskan nazar dulu disebut Abdullah Arif.”
Timur Sumatera
Di negeri-negeri di pantai timur pulau Sumatera pula Syeikh Abdullah Arif tidak mengirim murid-muridnya, kerana ketika itu telah ada seorang bernama Johan Syah yang diutus oleh Sultan Aceh sendiri. Setelah memeluk agama Islam, Johan Syah menukar namanya kepada Ali Mandayat.
Beliau mendapat pendidikan Islam di India. Ali Mandayat menerima rintangan yang banyak dari penduduk yang belum beragama dan ada juga yang beragama Hindu. Oleh itu beliau terpaksa menyebarkan Islam dengan jalan berpindah-randah dari satu kampung ke kampung. Ali Mandayat berhasil mengirim utusan belajar ke Mekah al-Mukarramah.
Akhirnya Raja Mekah mengirim Syeikh Ismail ke Sumatera di bahagian pantai timur itu. Dalam waktu yang relatif singkat dan cepat, hanya sekitar 50 tahun sesudah aktiviti Ali Mandayat itu, agama Islam tersebar hampir ke seluruh pulau Sumatera.
Syeikh Abdullah Arif barangkali termasuk salah seorang penulis berbagai-bagai kitab tentang sufi, tetapi yang baru diketahui hanya sebuah, iaitu karyanya yang berjudul Bahr al-Lahut. Kitab Bahr al-Lahut ditulis dengan bahasa Arab. Hanya sebuah naskhah atau manuskrip dalam bahasa Arab dijumpai manakala naskhah atau manuskrip yang diterjemah ke bahasa Melayu terdapat beberapa buah.
Naskhah bahasa Arab pernah dimiliki oleh Syeikh Yusuf Tajul Khalwati Makasar. Berdasarkan tahun kedatangan Syeikh Abdullah Arif di dunia Melayu dapat disimpulkan bahawa Bahr al-Lahut adalah risalah yang pertama sekali ditulis di rantau ini.
Nur Muhammad
Manuskrip dalam bahasa Arab adalah salinan yang diusahakan oleh Syeikh Yusuf Tajul Khalwati Makasar. Secara umum kandungan Bahr al-Lahut adalah membicarakan akidah, tasawuf dan kejadian alam semesta. Dimulakan dengan kisah kejadian Nur Muhammad, dilanjutkan dengan kejadian alam semesta, tujuh petala langit, tujuh petala bumi, alam yang nyata dan alam yang ghaib.
Allah mengangkat darjat Nabi Muhammad s.a.w. pada sisi keagungan-Nya. Nabi Muhammad s.a.w. adalah makhluk Allah yang paling tinggi kedudukannya berbanding semua makhluk yang dijadikan oleh Allah s.w.t.. Nabi Muhammad s.a.w. adalah Nabi yang awal pada kejadian Nur dan Nabi yang akhir pada kejadian sebagai utusan Allah di permukaan bumi.
Tiada Nabi yang lain sesudah Nabi Muhammad s.a.w. Allah menjadikan itu sekeliannya daripada Nur al-Wilayah dan Nur an-Nubuwah. Bahawa Nur al-Wilayah dan Nur an-Nubuwah itu adalah sifat Nabi Muhammad s.a.w.. Nur al-Wilayah itu tempatnya pada batin (tersembunyi) sedang Nur an-Nubuwah itu tempatnya pada zahir (nyata).
Sesungguhnya ada lagi yang dinamakan jauhar. Bahawa jauhar yang pertama dinamakan Alam al-Kabir (Alam Besar). Selain itu Allah menjadikan sekalian rangkaian susunan kejadian kosmos yang dinamakan Arasy, Kursi, Lauh al-Mahfuz, kalam, Samawat (Langit), al-Ardh (Bumi), an-Nujum (bintang-bintang), syurga dan neraka berserta sekelian penghuni dan isinya.
Segala kejadian itu adalah ajaib belaka. Ada pun bumi dihuni oleh sekalian bangsa manusia, haiwan, jin dan syaitan. Dari semua nama yang disebutkan itu, mulai Arasy dan seterusnya hanya bumi saja paling banyak digunakan manusia, kerana bumi adalah tempat kediaman mereka.
Walaupun ada usaha-usaha manusia mengharungi angkasa luar hingga berusaha melakukan penyelidikan ke bulan dan planet-planet lainnya, namun pencapaian yang dapat dijangkau oleh kebanyakan manusia hanyalah dalam bumi juga.
Manusia diberi akal oleh Allah s.w.t. untuk mencapai segala-galanya, dengan tidak menafikan kemampuan tentang dunia, namun pada hakikatnya pengetahuan manusia tentang keseluruhan yang ada pada bumi sendiri pun tidak akan habis-habisnya untuk diselidiki dan digarap untuk kepentingan manusia.
Pegangan akidah
Pegangan akidah Syeikh Abdullah Arif adalah sama dengan pegangan ulama-ulama Ahli Sunah wal Jamaah yang muktabar, tentang tiada sesuatu yang tersembunyi bagi Allah s.w.t. Lalu beliau memetik pendapat yang beliau namakan ahlus sirri (maksudnya orang-orang yang dapat mengetahui perkara-perkara rahsia hakikat). Menurut Syeikh Abdullah Arif ahlus sirri berkata: “Ada pun Allah s.w.t itu melihat pada jauh dan melihat pada hampir sekeliannya.”
Pengertian Syeikh Abdullah Arif tentang syahadat pula beliau huraikan sebagai berikut: “Berkata ahli al-musyahadah, adapun tempat syahadat itu, bahawa melihat ia bagi dirinya, maka tiada dapat tiada segala orang yang Mukmin dipandang yang demikian itu, maka sahlah pandangannya seperti Allah dan Rasul-Nya.” Yakni diumpamakan seperti orang melihat sehari bulan dan melihat purnama bulan dengan penuhnya.
Maka telah berkata orang ahlul isyarah: “Ada pun sehari bulan itulah hendak menjadikan purnama bulan adanya.”
Selanjutnya dihuraikan pula tentang Islam, kata beliau, “ketahui olehmu bahawa Islam dan kamal al-Islam (kesempurnaan Islam) itu adalah dikukuhkan daripada kalimah syahadah.” Ada pun kamal al-Islam itu, maka memandang yang sebenar-benarnya, tulus dan ikhlasnya, iaitu mukmin dengan sebenar-benarnya kerana penglihatan itu seperti sabda Nabi s.a.w., Barang siapa berfikir dengan sekejap mata sekalipun, kerana memikirkan Allah Taala, maka terlebih baik daripada berbuat ibadat 1,000 tahun lamanya.
Syeikh Abdullah Arif membahas selanjutnya, Maka telah berkata orang ahl al-Muqabalah, “Jadikan dirimu dengan perintah tuhanmu dengan sempurna adamu dengan Qudrat tuhanmu. Maka dijadikan diri kamu itu sebagai tempat kenyataan kenal kepada tuhanmu.”
Untuk menguatkan pegangan Syeikh Abdullah Arif menggunakan dalil firman Allah, Tiap-tiap sesuatu itu binasa jua, melainkan yang tiada binasa hanya Allah, bagi-Nya kekuasaan menentukan hukum, dan kepada-Nya kamu dikembalikan. (Al-Qasas: 88). Selengkapnya..
Tengku Haji Hasan Krueng Kalee, Aceh
Ketika dalam pengasingan tersebut, beliau belajar pengetahuan dasar agama langsung dari kedua orangtuanya sambil berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di daerah pengungsian. Dan setelah mempunyai pengetahuan dasar tentang agama Islam yang memadai, bahasa Arab, sejarah Islam dan lain-lain, pada tahun 1906 M, Tgk H.Hasan Kruengkalee yang telah menjadi remaja berangkat ke Yan, Keudah – Malaysia untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang telah beliau pelajari sebelumnya. Beliau dikirim kesana oleh ayahnya untuk melanjutkan pendidikannya di Dayah Yan yang pada waktu itu dipimpin oleh Tgk.H.Muhammad Arsyad, seorang ulama besar yang berasal dari Kerajaan Aceh Darussalam. Tgk.H.Muhammad Arsyad adalah teman pengajian ayahnya dulu sewaktu di Lamnyong. Selain itu, keberangkatan beliau ke Keudah juga atas dorongan Teuku Raja Keumala dan Tgk Syaikh Ibrahim Lambhuk. Disana beliau memperdalam ilmu pengetahuan selama beberapa tahun.
Dayah Yan di Keudah sudah sejak lama menjadi pusat pendidikan Islam di Semenanjung tanah Melayu. Para sultan Kerajaan Aceh Darusssalam mengirim ulama-ulama besar kesana untuk membangun dayah sebagai lembaga pendidikan utama untuk daerah-daerah Tanah Seberang. Setelah menamatkan studinya di Dayah Yan, Tgk H.Hasan Kruengkalee yang telah mempunyai pengetahuan agama dan bahasa arab yang cukup, atas persetujuan gurunya pada tahun 1910 berangkat ke tanah suci dalam rangka menunaikan Ibadah H. serta untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi pada pusat pendidikan Islam di Masjidil Haram Makkah. Disana beliau belajar selama lima tahun, dan yang menjadi gurunya merupakan ulama-ulama besar yang menjadi masyaikh (para guru besar) dalam Masjidil Haram dan sangat terkenal di kota Mekkah. Diantara guru-guru beliau tersebut adalah Syaikh Said Al-Yamani Umar bin Fadil, Syaikh Khalifah, Syaikh Said Abi Bakar Ad-Dimyaty dan Syaikh Yusuf An-Nabhany dan sebagainya.
Setelah menempuh pendidikan sekitar enam tahun di Mekkah, Tgk H.Hasan Kruengkalee pulang ke tanah air. Sekembali beliau tersebut pada tahun 1916 beliau langsung mengambil alih pimpinan Dayah Kruengkalee yang sejak peperangan dengan Belanda tidak terurus lagi. Dengan semangat baru yang dihasilkan dari pendidikan selama bertahun-tahun di Mekkah dan didorong oleh jiwa mudanya Tgk.H.M.Hasan Kruengkalee membangun kembali Dayah tersebut. Dalam waktu singkat, Dayah Kruengkalee telah berubah menjadi pusat pendidikan agama Islam terbesar di Aceh sejajar dengan nama-nama besar lainnya seperti; Dayah Tanoh Abee, Dayah Lambirah, Dayah Rumpet, Dayah Jeureula, Dayah Indrapuri, Dayah Pante Geulima, Dayah Tiro dan Dayah Samalanga,(Shabri A, dkk, Biografi Ulama-Ulama Aceh Abad XX, (Banda Aceh: Dinas Pendidikan Prop.NAD, 2007), hal. 6).
Dalam perkembangan kemudian, Tgk H.Hasan Kruengkalee melalui Dayah yang dikelolanya telah berhasil mencetak banyak kader-kader da’i, pendidik, ulama dan pemimpin umat yang sangat berjasa bagi rakyat Aceh, baik sebagai pembimbing mereka dengan nilai-nilai agama, maupun sebagai pimpinan masyarakat atau sebagai komando dalam jihad fisabilillah melawan agressor Belanda ketika itu. Sebagai lembaga pendidikan Islam, dayah Kruengkalee ini pada dasarnya lebih banyak berperan dibandingkan dengan lembaga pendidikan formal lainnya seperti sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada waktu itu. Sekolah pada waktu itu tidak sanggup mengemban tugas untuk menampung semua lapisan masyarakat, karena ketentuan yang digariskan penjajah Belanda yang membatasi kesempatan bersekolah bagi masyarakat luas atas dasar kepentingan penjajah Belanda.
Menurut berbagai catatan sejarah, sebagian besar ulama-ulama besar generasi tua di Aceh saat ini tercatat pernah menimba ilmu kepada beliau. Mereka tersebar di seantaro Aceh menjadi mercusuar dalam lapangan khazanah keilmuan Islam.
Diantara ulama-ulama dari murid-murid Tgk H. Hasan Krueng Kalee, yang cukup terkenal di daerahnya masih masing antara lain dapat disebutkan: Tgk Ahmad Pante, ulama dan imam masjid Baiturrahman Banda Aceh, Tgk Hasan Keubok, ulama dan Qadhi XXVI mukim di Aceh Besar, Tgk M. Saleh Lambhouk, ulama dan imam masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Tgk Abdul Jalil Bayu, ulama dan pemimpin dayah Al-Huda Aceh Utara, Tgk Sulaiaman Lhoksukon, ulama dan pendiri dayah Lhoksukon, Aceh utara, Tgk M. Yusuf Peureulak, ulama dan ketua majlis ulama Aceh Timur, Tgk Mahmud Simpang Ulim, ulama dan pendiri dayah Simpang Ulim, Aceh Timur, Tgk H. Muda Waly Labuhan H., ulama dan pendiri dayah Darussalam, Labuhan Haji Aceh Selatan, Tgk Syeh Mud Blang Pidie, ulama dan pendiri dayah Blang Pidie Aceh Selatan, Syeh Shihabuddin, ulama dan pendiri dayah Darussalam Medan, Sumatera Utara, Kolonel Nurdin, bekas Bupati Aceh Timur, yaitu anak angkat beliau sendiri, Tgk Ishaq Lambaro Kaphee, ulama dan pendiri dayah Ulee Titie(Fauziah, 1988).
Murid-murid beliau tersebut pada umumnya mengikuti jejak gurunya, menjadi ulama yang membuka dayah di tempat mereka masing-masing hampir ke seluruh pelosok nanggroe Aceh.
Selain itu, disamping memimpin Dayah Kruengkalee dan usahanya mencetak ulama Aceh pewaris para Nabi, beliau juga termasuk salah seorang putra Aceh yang ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, beliau juga pernah menjadi anggota konstituante Republik Indonesia dari partai Islam Perti. Tgk H.Hasan Kruengkalee juga pernah mengeluarkan fatwa tentang seruan jihad fi sabilillah untuk melawan Belanda pada tanggal 15 Oktober 1945, dalam rangka mempertahankan Negara Republik Indonesia yang ditangani oleh beberapa ulama Aceh lainnya, diantaranya oleh Tgk H.Hasan Krueng Kalee, Daud Beureueh, Tgk Ja’far Lamjabat dan Tgk H.Ahmad Hasballah Indrapuri, keempat ulama besar Aceh tersebut mengeluarkan fatwa bahwa berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia adalah perang sabil dan kalau mati hukumnya mati syahid. (Prof. A. Hasjmy, Para Pejuang Kemerdekaan yang Mendukung Pancasila dan Memusuhi Komunisme, hal. 448).
Himbauan jihad diatas, telah menggerakkan masyarakat tampil ke medan perjuangan di tanah Aceh untuk merebut kemerdekaan dan mempertahankannya. Dengan adanya fatwa tersebut diatas, rakyat Aceh telah berjuang selama tahun-tahun dengan revolusi fisik, sehinnga tanah Aceh terbebas dari penjajahan Belanda. Mereka umumnya tergabung dibawah berbagai wadah organisasi perjuangan, misalnya Pusa, pemuda Pusa, kasyafatul Islam, Muhammaddiyah, Pemuda Muhammaddiyah, Perti, Permindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), maupun organisasi-organisasi Islam lainnya. Para pemuda yang telah dibina iman dan semangat jihadnya dalam madrasah-madrasah dan dayah bersama-sama rakyat Aceh lainnya ikut berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaan.
Pada masa itu pula beliau mempersiapkan alat-alat serba mungkin, untuk menghadapi pemberontakan yang terjadi di beberapa tempat diantaranya pemberontakan Bayu di Lhokseumawe tahun 1944 di Lhokseumawe, yang dipimpin oleh salah seorang murid beliau yaitu Tgk Abdul Jalil Bayu dan penyerbuan Blang Bintang untuk melawan Jepang yang menjelang Indonesia merdeka, yang menjadi pimpinannya adalah beliau sendiri. Semua pergerakan yang terjadi baik pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang terutama pemberontakan yang dipimpin oleh murid-murid beliau adalah atas anjuran beliau sendiri. Selengkapnya..