Dulu, di Jawa Tengah, ada seorang Kiai yang sangat gigih melawan Belanda. Gerakan perlawannya di sebut “Tarajumah.” Pelopornya adalah KH. Ahmad Rifa’i, yang belum lama ini diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Bagi masyarakat Jawa Tengah,, terutama di Pekalongan Kedu, Semarang, dan sekitarnya, Nama KH. Ahmad Rifa’i dari Kalisalak, Batang, Jawa Tengah, sudah tak asing lagi. Dua abad silam ia wafat, namun namanya masih harum hingga sekarang. Ia adalah ulama besar ahli Tarekat, yang sangat gigih melawan kolonialisme Belanda. Itu sebabnya Presiden Susilo Bambang Yudoyono memberinya gelar sebagai Pahlawan Nasional, melalui Kepres Nomor: 089/TK/2004. ia dikenal sebagai sosok pemimpin rakyat yang tegas, ulet dan teguh dalam pendirian.
Beberapa penelitian menggambarkan, Kiai Rifa’i sebagai pembaharu dalam pemikiran agama, misalnya dalam buku Movement Protest in Pulau Java, sejarawan Prof. DR. Sartono Kartodirdjo menulis, Kiai Rifa’i sebagai seorang pembaharu. Sedang DR. Karel Steenbring dalam salah satu tulisannya, menyebutnya sebagai reformis dan fundamentalis, kekuatan tokoh ini terletak pada prinsip dan semangat juangnya, yakni tekad untuk mengembalikan Islam pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Kiai Rifa’i lahir di Tempuran, Kendal, Jawa Tengah, Kamis 9 Muharram 1.200 H/13 November 1785 (versi lain 1786) ayahnya Muhammad Marhum bin Abi Sujak Wijaya alias Raden Sukocito, seorang penghulu. Sedang ibunya bernama Siti Rohmah. Ia bungsu dari delapan bersaudara.
Ketika baru berusia tujuh tahun, ia sudah Yatim Piatu, dan selanjutnya tinggal bersama kakak kandungnya, Nyai Rajiyah binti Muhammad Marhum dan Kakak Iparnya KH. Asy’ari, seorang ulama dan pendiri pesatren Kaliwungu, Kendal. Sejak muda ia sudah terkenal warak, lebih mementingkan ibadah, dan suka menimba ilmu. Itulah sebabnya ia menghabiskan masa kecilnya di sejumlah pesantren, setelah sebelumnya belajar agama kepada kakak kandungnya. Ketika usianya baru delapan tahun, ia sudah tekun beribadah. Hari-harinya disibukkan dengan salat berjemaah, berdzikir dan belajar. Tidak hanya itu, ia juga sangat peka terhadap situasi sosial kemasyarakatan yang kala itu sarat dengan aksi-aksi kezaliman kaum kolonialis Belanda.
Pemuda Rifa’i tampil menentang penjajah dengan Gerakan Tarajumah. Gerakan perlawanan ini lebih menekankan pada aspek keagamaan dengan budaya masyarakat lokal secara menonjol. Ia membuka kesadaran masyarakat untuk menjadikan Islam sebagai roh kehidupan dan perjuangan. Kata Tarajumah, dialek Sunda untuk kata Tarjamah dari bahasa Arab, diambil dari kitab agama karangannya yang ia susun di sela-sela mengajar.
Dalam serangkaian tulisannya, kiai Rifa’i menyebut Belanda sebagai kafir; dan siapapun yang berkolaborasi dengan Belanda, hukmnya juga Kafir. Pandangan seperti itu, akhirnya menjadi fatwa yang tersebar luas di kalangan masyarakat Kalisalak dan sekitarnya. Dan tentu saja fatwa ini membuat Belanda sangat marah. Tak ayal, lantas Belanda nmengejeknya dengan julukan “Setan Kalisalak”. Kala itu bahkan sejumlah ulama yang pro Belanda sempat memojokkannya sebagi “Kiai Sesat”.
Sementara giat berdakwah, dengan jelas ia menyaksikan tatanan moral masyarakat kala itu yang rusak akibat ulah penjajah, yang dinilainya tidak mengindahkan ajaran agama. Tanpa tedeng aling-aling, ia sering mengkritik pemerintah Belanda dalam khotbah-khotbah Jumatnya, dan berkat kepiawaiannya berpidato, ia cepat dikenal masyarakat luas.
Menurut Ustadz Nasikhun, seorang ulama Batang, Kiai Rifa’i adalah salah seorang dari ribuan ulama Indonesia yang hingga kini masih dihormati, ia guru spiritual yang banyak berjasa dalam membangun ketahanan rohani, dengan menanamkan nilai-nilai agama.
Karena sikapnya yang radikal, ia mendapat kecaman, bahkan ancaman keras dari pemerintah Kolonial Belanda, birokrasi, maupun ulama yang bersebrangan dengannya. Akhirnya larangan berdakwah pun dikeluarkan, tapi ia tetap jalan terus, bahkab semakin gencar. Untuk menjerat pimpinan rakyat ini, Belanda menyuruh seorang ulama, Haji Pinang, untuk mengajaknya debat terbuka. Dalam perdebatan itu secara sepihak Kiai Rifai dianggap bersalah, dengan alasan inilah, dia dijebloskan ke dalam penjara.
Tapi ia pantang mundur. Keluar dari penjara pada tahun 1835, ketika berusia 30 tahun, ia langsung berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu kepada sejumlah ulama besar di tanah suci. Bermukim di sana selama delapan tahun. Ia berguru kapada sejumlah ulama, antara lain, Syekh Utsman dan Syekh Faqih Muhammad ibnu Abdul Aziz Al-Jaysyi. Ia juga sangat akrab dengan beberapa santri asal Indonesia yang terkenal menjadi ulama besar, seperti KH. Kholil Bangkalan dan Syekh Nawawi Banten.
Bahkan belakangan, tiga serangkai itu akhirnya berikrar: jika masing-masing nanti pulang ke tanah air, harus menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, menerjemahkan kitab-kitab agama ke dalam bahasa Jawa (maksudnya Nusantara), bertindak adil, mendirikan lembaga keagamaan, dan mengusir penjajah Belanda. Taklama kemudian beliau menimba ilmu ke Mesir, berguru kepada Syekh Al-Barowi dan Syekh Ibrahim Al-Bajuri, pengarang kitab Fathul Qarib yang terkenal itu.
Pada tahun 1632, ketika usianya sudah 51 tahun, Kiai Rifa’i kembali ke Indonesia dan langsung mengajar di Almamaternya, Pondok Pesantren Kaliwungu, Kendal, . ketika itulah selain mengajar ilmu-ilmu agama, ia juga menyampaikan pentingnya semangat nasionalisme anti penjajah. Ia berhasil menanamkan roh Islam, mengembalikan syariat Islam secara benar dan utuh, terutama untuk membangkitkan semangat nasionalisme.
Akibatnya, ada saja orang yang berkhianat dan melaporkan kegiatannya kepada pemerintah Kolonial Belanda, dengan tuduhan menghasut rakyat untuk membuat kerusuhan. Ia ditangkap dan di introgasi. Akhirnya ia diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman pengasingan. Pada tahun 1838, ia dibuang ke kalisalak, sebuah desa terpencil di Kecamatan Limpung, Batang, namun mujahid yang tak pernah patah arang ini pada tahun 1841 justru membangun sebuah Pesantren Al-Qur’an di kawasan Hutan Belantara itu.
Mula-mula ia mengumpulkan anak-anak kampung untuk diajar ngaji dan belajar fikih. Kadang ia mengajar dengan menggunakan nadham (puisi) dalam bahasa Jawa. Dan ternyata anak-anak tertarik. Akhirnya pesantren baru ini berkembang pesat, lama kelamaan santrinya berdatangan dari berbagai penjuru pulau jawa. Tapi gara-gara aktivitasnya itulah pemerintah Belanda lagi-lagi gerah. Apalagi karena Kiai Rifai tetap saja menggembleng para patriot desa dengan semangat anti penjajah yang kafir.
Ajaran Kiai Rifa’i menitikberatkan pada tiga hal: pertama, Pemerintah kolonial Belanda adalah Kafir, karena menindas rakyat. Kedua, kaum birokrat tradisional merupakan antek Belanda, dan karena itu juga Kafir. Ketiga, praktek beragama tidak boleh bercampur dengan kepercayaan nenek moyang, yang dinilainya sesat dan musyrik. Tentu saja ajaran seperti itu dianggap sangat membahayakan oleh Belanda. Maka pada 15 Mei 1859, ia ditangkap lalu dibuang ke Ambon, maluku. Sepuluh tahun kemudian, 11 Juni 1869, ia meninggal dunia dan di makamkan di Ambon.
Ia adalah ulama sekaligus mujahid, pejuang, ia dicintai dan sangat dekat dengan rakyat, terutama karena mampu mengajar agama dengan bahasa Jawa, campur Sunda, sebagai bahasa perantara. Ia menulis puluhan kitab Agama dalam bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Pegon, huruf Arab berbahasa Jawa. Tak kurang dari 55 judul kitabnya, kini masih dibaca oleh para pengikutnya. Kiai Rifa’i menyebut kitab-kitab dalam bahasa Jawa itu sebagai Tarajumah, yang berarti Terjemahan.
Hingga saat ini masih ada beberapa murid Kiai Rifa’i yang melanjutkan dakwah dan perjuangannya. Antara lain, Abdul Aziz (Wonosobo) Ishak (Kendal), Imam Puro (Batang) Abu Salim (Pekalongan) dan masih banyak lagi. Para pengikut Kiai ini membentuk sebuah organisasi yang bernama Rifa’iyah, berpusat di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar