Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari, Mufti Kerajaan Indragiri Riau adalah salah seorang buyut dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Beliau adalah seorang ulama besar yang hidup pada tahun 1857-1939 M, sangat terkenal tidak saja di Kalimantan Selatan, tetapi juga di daerah Sumatera dan daerah lainnya. Salah satu karya tulisnya yang populer adalah risalah Amal Ma’rifah.
Kitab ini disusun oleh beliau untuk menjadi tuntunan bagi orang-orang yang mencari ilmu-ilmu kesempurnaan di zaman itu, sebab sedikit sekali guru tasawuf yang alim dan mampu mengajarkan tasawuf secara benar. Kitab ini juga sering dijadikan rujukan serta diajarkan oleh ulama atau guru-guru agama di Kalimantan Selatan, dan ada kecenderungan kitab ini diidentikkan dengan kitab al-Durr al-Nafis karya Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, serta dianggap bernuansa ajaran wahdat al-wujud. Terkait dengan hal ini penulis tertarik untuk meneliti kitab ini secara lebih jauh dan mendalam tentang konsep tauhid sufistik dan tasawuf Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari yang terkandung dalam kitabnya tersebut, sehingga penilaian terhadap kitab ini dapat lebih komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pendahuluan
Di tengah masyarakat Kalimantan Selatan, nama Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari cukup dikenal, sebab beliau merupakan salah seorang zuriat ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Beliau adalah seorang da’i yang gigih, pendidik yang giat, mufti yang aktif, penerjemah, ulama yang wara’, sufi yang tawadhu, dan juga penyair kondang yang pertama sekali memperkenalkan tasawuf di tanah Melayu.[1] Syair-syair yang beliau susun mampu memukau orang-orang di zamannya, sehingga melalui syair-syair itu beliau juga berdakwah dan berusaha meluruskan aliran kalam dan tasawuf yang cenderung menyimpang, disebabkan para tokohnya yang tidak memiliki dasar agama yang kuat dan hanya bertumpu pada khayalan dan alam kebatinan saja.[2] Selain aktif berdakwah, Abdurrahman Siddiq juga aktif menulis, di antara karyanya yang terkenal adalah Amal Ma’rifah dan Syajaratul Arsyadiyah.[3]
Latar belakang ditulisnya kitab Amal Ma’rifah ini berangkat dari banyaknya orang yang menuntut ilmu ke berbagai wilayah Nusantara guna mencari ilmu-ilmu “kesempurnaan” dalam rangka mencapai martabat seorang muslim yang betul-betul taat kepada Allah SWT. Namun pada saat itu banyak aliran kalam dan tasawuf yang cenderung menyimpang, karena tidak menempatkan porsi syariat secara benar sehingga masyarakat cenderung menjadi fatalis (Jabari), disebabkan para tokohnya yang tidak memiliki dasar agama yang kuat dan hanya bertumpu pada khayalan dan alam kebatinan saja. Untuk itulah kitab Amal Ma’rifah dapat menjembatani dan menjadi arah bagi orang-orang yang mencari kesempurnaan keimanan kepada Allah SWT.
Di daerah Kalimantan Selatan pun diduga ada pandangan masyarakat yang cenderung menyimpang dari ajaran kitab tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan cara orang dalam memahami kitab ini terlalu tekstual dan sepotong-sepotong. Memang di dalam kitab ini ada beberapa ajaran tasawuf yang cenderung menyatukan antara Khalik dengan makhluk, antara lain pernyataan yang menegaskan bahwa semua perbuatan manusia harus dipandang dengan matahati dan matakepala disertai i’tikad bahwa peristiwa yang terjadi di alam ini adalah semata-mata perbuatan Allah.
Pemahaman terhadap materi kitab yang tidak menyeluruh, berakibat banyak pandangan yang menyimpang dari inti kitab ini. Sebagaimana terungkap dalam seminar “Pemantapan Tasawuf di Kalimantan Selatan” tahun 1985 dan seminar “Pemantapan Pengajian Tasawuf Sunni di Kalimantan Selatan” tahun 1986, banyak peserta seminar menilai bahwa kitab beliau tersebut beraliran Wahdat al-Wujud.[4]
Ketidaktahuan dalam memahami ajaran atau gagasan suatu kitab, dapat merusak ketauhidan dan paham tasawuf seseorang. Oleh karena itu, isi kitab tersebut perlu dikaji lebih menyeluruh lagi, sehingga diperoleh kejelasan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan, dan terhindar dari kesalahan dalam memvonis ajaran seorang ulama.
Dalam kitab Amal Ma’rifah nampaknya bahwa Syekh Abdurrahman Siddiq mengemukakan tentang konsep tauhid dan sufistik yang bernuansa Akhlaki/Amali paling jauh sampai kepada wahdat al-syuhud, akan tetapi tidak sampai kepada wahdat al-wujud meskipun ada sejumlah ungkapan yang mendekati ke arah itu.[5] Hal ini karena pada saat itu setting sosial masyarakat banyak diwarnai paham wahdat al-wujud, yang terlihat dengan banyaknya ajaran-ajaran yang mengarah kepada paham tersebut di masyarakat.
Sementara itu, secara umum tulisan yang mengetengahkan sosok Abdurrahman Siddiq al-Banjari sebagai objek kajian cukup banyak, baik yang ditulis dalam bentuk penelitian maupun artikel ilmiah antara lain adalah :
1. Hasil penelitian Bahran Noor Haira berjudul “Kitab Amal Ma’rifah, Sebuah Interpretasi Baru, (1996) mengungkapkan pemahaman baru dan berisikan bantahan terhadap anggapan orang yang menilai bahwa Abdurrahman Siddiq penganut tasawuf wahdat al-wujud.
2. Jamhari Arsyad dalam skripsi sarjananya di Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin tahun 1985 mengangkat judul “Risalah Amal Ma’rifah (Tinjauan Atas Suatu Ajaran Tasawuf)”. Penelitian ini walaupun ditekankan pada tinjauan tasawuf, namun titik tekannya lebih pada kualitas tafsir dan hadits yang digunakan dalam kitab tersebut.
3. Tulisan M. Arrafie Abduh berjudul “Corak Tasawuf Abdurrahmad Siddiq dalam Syair-Syairnya”, yang dimuat dalam Jurnal Penelitian Kutubkhanah, Volume III, diterbitkan oleh IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru Riau tahun 2000/2001, mengkaji pemikiran tasawuf Abdurrahman Siddiq al-Banjari lewat syair-syair yang telah beliau tulis.
4. Tulisan Muhammad Nazir berjudul “Kontroversi Sikap Ulama Tentang Eksistensi Ilmu Kalam dan Pandangan Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari”, yang dimuat dalam Jurnal Khazanah IAIN Antasari, Volume II, Nomor 3, Mei-Juni 2003, mengkaji dan mengungkapkan tentang pendapat dari Abdurrahman Siddiq terhadap eksistensi dan urgensi Ilmu Kalam, melalui salah satu karya tulisnya berkenaan dengan masalah tauhid, yang berjudul Aqaid al-Iman.
Dari keempat orang penulis di atas, ternyata belum ada uraian yang secara utuh memuat ajaran tasawuf Abdurrahman Siddiq, baik yang tercermin dalam sejarah hidupnya maupun yang tertuang dalam karya tulis yang dihasilkannya, seperti yang terkandung dalam risalah Amal Ma’rifah. Kemudian, untuk menilai corak pemikiran tasawuf seseorang, harus pula melihat prinsip ajaran yang ia pegang, dalam hal ini keterkaitan antara hakikat, syariat dan tarekat, serta dasar-dasar yang ia pergunakan.
Karena itu melalui penelitian ini, penulis berusaha untuk memaparkan kehidupan Abdurrahman Siddiq, kemudian naskah kitab yang menjadi objek penelitian, ajaran-ajarannya serta konsep tauhid sufistik dan tasawuf yang terkandung dalam risalah Amal Ma’rifah tersebut. Kajian seperti ini sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan secara mendalam.
1. Riwayat Hidup
a. Kelahiran
Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari (selanjutnya disebut Abdurrahman Siddiq) dilahirkan di Kampung Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan pada tahun 1857 M pada masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M),[6] dengan nama Abdurrahman. Kemudian saat menuntut ilmu di Mekkah, oleh salah seorang gurunya memberi tambahan “Siddiq” pada namanya, sehingga menjadi Abdurrahman Siddiq.[7]
Nama ayahnya adalah H. Muhammad Afif bin Mahmud bin H. Jamaluddin, sedangkan nama ibunya adalah Shafura binti H. Muhammad Arsyad (Pagatan). Silsilah dari pihak ayahnya, bertemu pada Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dari istrinya yang bernama Gowat (Go Hwat Nio) seorang keturunan Cina. Dari istrinya ini Syekh Muhammad Arsyad memiliki enam orang anak, di antaranya adalah Khalifah Haji Zainuddin. Haji Zainuddin kawin dengan Ambas melahirkan tujuh orang anak, satu di antaranya bernama Sari. Sari bersuamikan Mahmud dan melahirkan tujuh orang anak, satu di antaranya adalah Haji Muhammad Afif, orangtua dari Abdurrahman Siddiq.[8]
Silsilah keluarga dari pihak ibu juga bertemu pada Syeikh Muhammad Arsyad dari istrinya yang bernama Bajut.[9] Bajut melahirkan anak yang bernama Syarifah. Syarifah bersuamikan Usman dan melahirkan Muhammad As’ad yang kawin dengan Hamidah dan melahirkan 12 orang anak. Salah satu di antara anak Muhammad As’ad dan Hamidah bernama Muhammad Arsyad. Muhammad Arsyad beristrikan Ummu Salamah dan melahirkan tujuh orang anak, satu di antaranya bernama Shafura dan Shafura inilah ibu dari Abdurrahman Siddiq.
b. Zuriatnya
Abdurrahman Siddiq merupakan zuriat kelima dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1770-1812 M), yang urutannya adalah Abdurrahman Siddiq bin Shafura binti Mufti H. M. Arsyad bin Mufti H. Muhammad As’ad bin Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad. Kemudian apabila dilihat dari pihak neneknya, Ummu Salmah, Abdurrahman Siddiq merupakan generasi keempat dari Syekh Muhammad Arsyad, yakni Abdurrahman Siddiq bin Shafura bin Ummu Salamah binti Pangeran Mufti H. Ahmad bin Syekh Muhammad Arsyad sal-Banjari.[10]
Selain punya zuriat ke atas yang bertemu pada Syekh Muhammad Arsyad, Abdurrahman Siddiq juga banyak melahirkan zuriat ke bawah melalui istri-istri yang pernah dinikahinya, yang berjumlah sembilan orang dan anak berjumlah 35 orang.[11]
c. Pendidikannya
Abdurrahman Siddiq sewaktu kecilnya tidak sempat lama diasuh oleh ibunya, sebab di usia baru tiga bulan ibunya Shafura meninggal dunia. Selanjutnya beliau diasuh oleh saudara perempuan almarhum yang bernama Sa’idah, yang dalam masa pengasuhan ini dia tetap dipelihara kakek dan neneknya. Menjelang usia satu tahun, kakeknya yang bernama Mufti H. Muhammad Arsyad bin Mufti H. Muhammad As’ad meninggal dunia. Sejak saat itu hingga dewasa Abdurrahman tinggal dan diasuh oleh neneknya yang bernama Ummu Salamah.
Ummu Salamah adalah seorang perempuan yang berilmu agama dan taat beribadah. Dalam pemeliharaannya inilah Abdurrahman Siddiq diajari membaca Alquran dan setelah menjelang dewasa disuruh belajar kepada guru-guru agama yang ada di Kampung Dalam Pagar.[12]
Sewaktu belajar agama di Dalam Pagar ini, Abdurrahman Siddiq sempat berguru dengan H. Muhammad Said Wali, H. Muhammad Khotib dan Syekh H. Abdurrahman Muda. Seiring dengan usia dewasa, beliau juga aktif berdagang sampai ke pulau Jawa dan Sumatera dan sempat pula menuntut ilmu agama di Padang Sumatera Barat.
Setelah menamatkan pendidikannya di Padang tahun 1882, tidak lama kemudian, yakni tahun 1889 beliau pergi menuntut ilmu ke Mekkah. Ada versi mengatakan beliau berangkat ke tanah suci tahun 1887 dari pulau Bangka Sumatera Selatan yang menjadi tempat kediamannya saat itu.[13]
Di Mekkah ia menuntut ilmu kepada para ulama besar yang membuka halaqah-halaqah pengajian agama di Masjidil Haram. Guru-guru tempatnya belajar di antaranya adalah Syekh Said Bakri Syatha, Syekh Said Babasyid, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani.[14] Selain itu Abdurrahman Siddiq juga giat mengaji agama di halaqah-halaqah yang ada di Masjid Nabawi di Madinah.[15]
Abdurrahman Siddiq tinggal di tanah suci Mekkah dan Madinah selama tujuh tahun, lima tahun menuntut ilmu dan dua tahun mengajar (tahliah) di Masjidil Haram. Sebelum pulang ke tanah air untuk menyampaikan dan mengamalkan ilmu yang diperoleh atas izin dari pemerintah Kerajaan Saudi Arabia, Abdurrahman Siddiq sempat pula mengajar di Masjidil Haram.
Setelah mengabdikan ilmu di Martapura, bersama keluarga dia pindah ke Sapat, Indragiri. Abdurrahman juga mengadakan perjalanan dakwah ke Semenanjung Melayu pada tahun 1911. Di Sapat Indragiri pada tahun 1912 beliau membangun sebuah masjid dan pondok pesantren di tengah-tengah perkebunan kelapa. Di sana selain sebagai guru agama dan muballigh beliau juga dikenal sebagai petani kelapa. Lokasi pesantren tersebut dikenal sebagai kampung Parit Hidayat, yang kemudian berkembang menjadi locus pendidikan di daerah Riau seiring dengan kedatangan para santri dari berbagai pelosok Indragiri.
Abdurrahman Siddiq juga pernah ditawari untuk menjadi Mufti[16] di beberapa tempat. Pertama sewaktu singgah di Betawi ditawari menjadi Mufti Betawi, yang ketika itu dijabat oleh Syekh Said Usman Betawi. Kedua, beliau juga ditawari oleh Sultan Kerajaan Johor menjadi Mufti, namun kedua tawaran itu ditolaknya. Tawaran untuk menjadi mufti di kerajaan Indragiri Riau pun baru diterimanya setelah pihak kerajaan memohon berkali-kali, yang mulai diembannya sejak tahun 1919 sampai wafatnya tahun 1939.
Abdurrahman Siddiq adalah seorang ulama besar yang sangat produktif. Muhammad Arrafie Abduh menyebutnya seorang ulama yang wara’, sufi yang tawadlu’, da’i yang gigih, pendidik yang giat, mufti yang aktif, penterjemah, petani, dan orang yang gigih menghidupkan seni yang bernafaskan nilai-nilai Islam dan aktif dalam ilmu beladiri Budi Suci dalam rangka menunjang suksesnya dakwah.[17] Karya-karya Abdurrahman semuanya ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab Melayu,[18] dan umumnya berkenaan dengan masalah agama, antara lain adalah :
1. Fathul Alim, kitab tentang Ilmu Tauhid diterbitkan 28 Sya’ban 1347 H/8 Februari 1929 M
2. Aqaid al-Iman, kitab tentang Ilmu Tauhid diterbitkan 18 Sya’ban 1355 H/2 Nopember 1936 M, penerbit Mathba’ah Ahmadiyah, Singapura
3. Asror al-Shalat min Uddah Kutub al-Mu’tamadah, kitab Fiqih yang menerangkan rahasia-rahasia shalat, diterbitkan bulan Zulqaidah 1349 H/2 April 1931.
4. Risalah Amal Ma’rifah, ditulis tahun 1332 H
5. Mau’izhat lin Nafs wa li Amtsali, kitab Tauhid bercorak Tasawuf diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmadiyah Singapura, tahun 1355 H.
6. Syair Ibarat dan Khabar Qiamat, sebuah buku sastra keagamaan diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmadiyah Singapura tahun 1344 H.
7. Kitab al-Faraid, sebuah Kitab Fiqih tentang kewarisan, diterbitkan oleh Mathba’ah al-Ikhwan Singapura tahun 1338 H.
8. Majmu’ al-Ayat wa al-Hadits fi Fadoli al-Ilmi wa al-Ulama wa Al-Muallimin wa al-Mustami’in li Khadim al-Thalabat, sebuah buku kumpulan ayat dan hadits tentang kelebihan ilmu dan ulama, diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmadiyah Singapura tahun 1346 H.1
9. Risalah Syajarah al-Arsyadiyah dan Risalah Takmilah Qaul al-Mukhtashar fi Alamat al-Mahdi al-Muntazhar, risalah yang berisi silsilah keturunan Syeikh Arsyad, tanda-tanda hari kiamat dan kedatangan Imam Mahdi, diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmadiyah Singapura tahun 1336 H.
10. Kumpulan Khutbah, sebuah kitab berbahasa Arab yang berasal dari kumpulan Khutbah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan diterjemahkan oleh Abdurrahman Siddiq, diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmadiyah Singapura tahun 1938 M.
2. Gambaran Umum Risalah Amal Ma’rifah
a. Keadaan Naskah
Nama lengkap kitab ini adalah Risalah Amal Ma’rifah Mengesakan Allah Ta’ala Yang Dinukilkan Dari Pada Kitab Tasawuf Dengan Ikhtisar oleh Hamba Abdurrahman Siddiq Banjari. Kitab ini ditulis dengan menggunakan bahasa Arab Melayu.[19] Disusun dan selesai ditulis pada bulan Rabiul Awwal tahun 1332 H dan pertama kali dicetak tahun 1347 H atas inisiatif dari H. Abdul Hamid, yang merupakan menantu Abdurrahman Siddiq. Kemudian, kitab ini ditulis dengan copy baru dan tulisan seorang khathtath bernama Muhammad Nafis Abdul Razak tahun 1391 H.[20]
Kitab ini sudah dicetak oleh beberapa percetakan atau penerbit, oleh karena itu kemungkinan tingkat ketebalannya relatif berbeda antara satu cetakan dengan cetakan lain. Seperti terbitan Mathba’ah Al-Ahmadiyah Jalan Sultan Nomor 82 Singapura, bertahun 1347 H (1929 M), cetakan keempat tebalnya adalah 32 halaman. Cetakan dan diterbitan Toko Buku Hasanu Banjarmasin tahun 1405 H/1984 M, dengan format yang agak tebal menggunakan kertas putih. Sedangkan cetakan dan terbitkan Toko Kitab Beirut Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah, kitab Amal Ma’rifah disertai dengan penjelasan, dengan judul “Ini Risalah Amal Ma’rifah Beserta Taqrir”, tebalnya 89 halamannya. Orang yang mensyarah kitab ini bernama Mahmud Siddiq, dia adalah anak dari Abdurrahman Siddiq. Walau tidak disebutkan waktu dan tanggal penerbitan, namun penyelesaian pensyarahannya pada tanggal 5 Desember 1979 M. Di samping itu kitab ini juga pernah dicetak oleh penerbit Darul Ihya Kutubil Arabiyah Surabaya.
Jadi paling tidak kitab ini pernah dicetak oleh empat penerbit, yaitu Mathba’ah al-Ahmadiyah Singapura, Tolo Buku Hasanu Banjarmasin, Darul Ihya Surabaya, dan Toko Buku Beirut Barabai. Oleh karena itu kitab ini cukup tersebar luas diberbagai daerah bahkan negara, khsususnya di kawasan Asia Tenggara, seperti di Singapura, Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam, Thailand dan Birma.[21]
Ada kalangan yang menganggap kitab Amal Ma’rifah ini merupakan ikhtisar dari ajaran tasawuf yang ditulis oleh Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dalam kitabnya Al-Durr al-Nafis. Akan tetapi bila melihat judul kitab Amal Ma’rifah ini, maka Abdurrahman Siddiq tidak hanya mengikhtisarkan dari satu kitab saja, melainkan beliau mengatakan risalah ini dinukilkan dari beberapa kitab tasawuf, di mana salah satu kitab tasawuf yang dijadikan rujukan dalam menyusun risalah tersebut adalah kitab al-Durr al-Nafis. Tepatnya, kitab Amal Ma’rifah ini merupakan kitab tasawuf yang ada kemiripan dengan kitab al-Durr al-Nafis. M. Laily Mansur mengatakan, kitab ini sudah menjadi pegangan sebagian guru-guru tasawuf di samping kitab al-Durr al-Nafis yang disusun oleh Syekh Muhammad Nafis dan kitab-kitab tasawuf berbahasa Arab Melayu lainnya. Atau ajaran tasawuf yang termuat dalam kitab al-Durr al-Nafis ikut memberi pengaruh terhadap ajaran tasawuf dalam kitab Amal Ma’rifah.[22]
b. Isi Kandungan Risalah Amal Ma’ifah
Walaupun teks risalah Amal Ma’rifah tidak disusun dengan sistematika yang lebih tegas sebagaimana kitab-kitab kontemporer, namun di dalamnya juga memuat beberapa hal yang cukup sistematis, meliputi: pengertian syariat, tarekat dan hakikat, konsep pengesaan Allah dengan af’al-Nya, asma-Nya, sifat-Nya, dan zat-Nya.
Sesuai dengan pernyataan Abdurrahman Siddiq bahwa kitab ini dinukil dari sejumlah kitab tasawuf, maka di dalamnya diakui pula adanya sejumlah tokoh sufi yang diikuti ajarannya atau dijadikan dasar oleh Abdurrahman Siddiq dalam menguraikan pendiriannya.
3. Konsep Tauhid Sufistik dan Tasawuf Abdurrahman Siddiq
Sebelum berbicara tentang tauhid dan tasawuf, Abdurrahman Siddiq telah lebih dahulu mengemukakan kedudukan syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifat. Keempat unsur ini memang penting bagi keagamaan seseorang dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Beliau sudah mengaskan, syariat tanpa hakikat hampa dan hakikat tanpa syariat batil sebagaimana pendapat Syekh Abdul Qadir Jaelani yang menyatakan bahwa “tiap-tiap hakikat yang tidak meneguhi akan dia oleh syariat, maka itu adalah zindik”.[23]
Ungkapan-ungkapan ini boleh dikatakan merupakan kata kunci dalam bertasawuf, sehingga kelompok dan ajaran tasawuf mana saja bila mengabaikan syariat maka itu sesat. Hal ini sekaligus merupakan penegasan dan penolakan Abdurrahman Siddiq terhadap adanya kecenderungan sebagian golongan di masa itu yang ingin menempuh jalan hidup bertasawuf, tapi mengabaikan syariat. Penegasan Abdurrahmnan Siddiq ini sejalan dengan pendapat tokoh sufi Abu Yazid al-Bustami yang menyatakan bahwa:
Artinya: “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi karamat sampai ia bisa terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya. Kecuali dia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama serta menunaikan segala kewajiban syariatnya secara baik.
Seseorang baru bisa dekat, dan menjadi wali Allah bila tetap rajin beramal dan beribadah, atau menjalankan syariat dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang dikatakan oleh Ma’ruf al-Karakhi berikut ini:
Artinya: “Jauhilah olehmu keinginan untuk meninggalkan amal ibadah, karena amal ibadah itulah yang akan mendekatkan kamu kepada Tuhanmu. Kemudian ada yang bertanya : Apakah amal ibadah itu? Jawab beliau : Beristiqomah untuk taat kepada Tuhan, berkhidmat dan memberi nasihat kepada kaum muslimin”.
Melalui kitab Amal Ma’rifahnya tersebut dan juga karya-karyanya yang lain, Abdurrahman Siddiq berusaha meluruskan aliran tauhid dan tasawuf yang cenderung menyimpang. Abdurrahman Siddiq berusaha meluruskan semua ini dengan mengacu kepada ayat-ayat dan hadits yang beliau anggap relevan serta pendapat para ulama sufi yang diakui ketokohannya.
Dalam rangka bertauhid mengesakan Allah, Abdurrahman Siddiq berusaha melihat tauhid dari sisi yang lebih mendalam, tidak sekadar tauhid Uluhiyyah dan Rububiyah yang dikenal oleh kalangan awam dan menengah. Beliau mengajarkan tauhid sufistik dalam empat macam, yaitu tauhid al-Af’al, tauhid al-Asma, tauhid al-Sifat, dan tauhid al-Zat.
a. Tauhid al-Af’al
Tauhid atau Wahdaniyat af’al, beliau merumuskan perbuatan manusia dalam hubungannya dengan perbuatan Tuhan. Bahwa semua perbuatan manusia baik yang positif berupa iman dan taat maupun perbuatan yang negatif berupa kafir dan maksiat, baik perbuatan itu bersifat mubasyarah, maupun tawallud, kesemuanya dalam pandangan mata hati adalah perbuatan Allah semata. Bila hal ini sudah diyakini secara haqqul yaqin, barulah seseorang hamba mendapat ma’rifat dalam wahdaniyat af’al dengan Allah. Pendapat demikian sepintas lalu meniadakan perbuatan makhluk, sehingga terkesan perbuatan makhluk itu tidak ada, yang ada hanya perbuatan Allah. Dasar yang digunakan oleh Abdurrahman Siddiq dalam mengajarkan wahdaniyat af’al ini antara lain adalah surah ash-Shafaat ayat 96:
Artinya: “Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu, karenanya sembahlah Dia dan esakanlah Dia”.
Pendapat ini bila dipahami secara sepotong-potong tentu berbahaya. Orang awam yang tauhid dan syariatnya masih lemah boleh jadi akan enggan mengerjakan amal kebaikan, atau bahkan berani melakukan perbuatan jahat, karena beranggapan kedua sisi perbuatan itu berasal dari Allah juga. Jika Allah tidak menghendaki, tidak akan terwujud perbuatan baik dan jahat itu. Tetapi bagi orang yang keberagamaannya sudah mantap, hal demikian tidak jadi masalah, karena Abdurrahman Siddiq sendiri sudah menyediakan kata kuncinya, yaitu hakikat tanpa syariat itu batil, atau hakikat tanpa syariat zindik. Kemudian apabila syariat diteliti, maka tidak satupun ditemui ajarannya yang menyuruh mengabaikan amal kebaikan (ma’ruf) dan menyuruh mengerjakan kejahatan (munkar).
Tidak hanya itu, syariat juga memberi tempat kepada akal untuk menilai suatu perbuatan tergolong ma’ruf dan munkar. Abdul Qadir Jaelani mengatakan: “Artinya, segala sesuatu yang bersesuaian dengan Al-Qur’an, hadits dan akal sehat disebut ma’ruf dan segala sesuatu yang bertentangan dengan ketiganya disebut munkar”. [26]
Jadi perbuatan (af’al) hamba yang baik dan buruk dapat diukur dengan syariat, yang bersumber dari Alquran, hadits dan akal (ra’yu). Akal di sini adalah hasil ijtihad manusia yang juga dapat dijadikan landasan hukum sesudah Alquran dan hadits, meliputi ijma’, qiyas, istihsan, maslahat- mursalah, urf, dan lain-lain.[27]
Karenanya tidak masuk akal bila syariat menyuruh berbuat yang munkar atau melarang yang ma’ruf. Disebabkan syariat Islam sejalan dengan akal, maka pasti perintah syariat adalah yang ma’ruf dan yang dilarangnya adalah yang munkar. Dengan demikian, walaupun pada dasarnya Allah yang menciptakan manusia dan semua af’alnya (wahdaniyat af’al), namun tidaklah pantas menyandarkan perbuatan yang munkar kepada Allah atau sebagai perbuatan Allah. Yang benar adalah bahwa perbuatan baik (ma’ruf) lahir atas hidayah Allah dan sebaliknya perbuatan jahat (munkar) akibat kebodohan manusia itu sendiri.
Artinya: “Apapun yang kamu peroleh hai manusia, berupa kebaikan maka itu berasal dari Allah dan apapun yang menimpamu berupa keburukan atau bencana, maka itu dari dirimu sendiri karena melakukan hal-hal yang mengundang datangnya bencana itu”.
Pendapat ini bagi Abdurrahman Siddiq dimaksudkan agar manusia tidak tergelincir kepada akidah Qadariyah bahwa setiap perbuatan manusia adalah karena kudrat manusia itu sendiri dan memberi bekas atau sebaliknya tergelincir ke dalam akidah Jabariyah yang meyakini semua perbuatan baik dan buruk berasal dari Allah, sedangkan usaha dan ikhtiar manusia tidak memberi bekas seperti halnya bulu yang berterbangan ditiup angin.[28]
Selain itu konsep wahdaniyat af’al ini oleh Abdurrahman Siddiq juga dimaksudkan untuk mewujudkan tasawuf akhlaki pada hamba, yaitu terlepasnya mereka dari sifat syirik khafi, ujub, riya, sum’ah dan lainnya.[29] Sehingga dengan meyakini wahdaniyat af’al, manusia akan terhindar dari sifat riya dan ujub, misalnya merasa dirinya hebat karena rajin beribadah atau alim, mampu melakukan apa saja pebuatan baik. Sekiranya manusia tidak meyakini wahdaniyat af’al-Nya Allah, bisa jadi ia akan riya, ujub, sum’ah dan sifat tercela yang lainnya karena merasa hebat dengan perbuatannya serta merasa ia sendiri yang kuasa melakukan semua itu.
Jadi wahdaniyat-Nya Allah pada af’al yang diajarkan oleh Abdurrahman Siddiq punya dua muara. Pertama meluruskan akidah agar tetap berada di jalur Ahlussunah wal Jama’ah dan tidak cenderung kepada Qadariyah atau Jabariyah sebagimana ditekankan dalam pendahuluan kitabnya,[30] kedua menumbuhkan tasawuf amali agar pada diri manusia terhindar dari sifat-sifat tercela.
Pendapat Abdurrahman Siddiq tentang tauhid al-Af’al ini, bila diteliti rujukannya agaknya cenderung kepada pendapat Junaid al-Baghdadi, yang membagi tauhid untuk awam dan untuk orang khawwas. Berkenaan dengan tauhid khawwas menurut beliau adalah bila seseorang mampu mengesakan Allah dengan keyakinan bahwa manusia itu hanya laksana bayang-bayang di hadapan Allah, segala yang berlaku pada aktivitas, perbuatan manusia adalah ketentuan yang berlaku atas kuasa Allah, karena dalam pengesaan Allah itu manusia telah fana dari dirinya dan dari segala yang lainnya, dengan memandang kepada hakikat wujud dan keesaan Allah. Hilang lenyap perasaan indrawi manusia dan perbuatannya, sebab yang berlaku hanyalah af’al dan kehendak Allah saja dan eksistensi manusia itu seperti tidak ada.[31]
Dengan demikian pada aspek wahdaniyat af’al ini, Abdurrahman Siddiq tidaklah mengajarkan wahdat al-wujud (tauhid wujudi), tapi lebih kepada wahdat al-syuhud (tauhid syuhudi).[32] Hal ini karena kesatuan af’al yang berasal dari Allah itu hanyalah pada hakikat dan pada pandangan batin, tanpa mengenyampingkan af’al atau usaha dan ikhtiar manusia. Sebab kewajiban manusia menjalankan syariat bagi Abdurrahman Siddiq tidak bisa ditawar-tawar.
b. Tauhid al-Asma
Menurut Abdurrahman Siddiq, tauhid (wahdaniyat al-Asma) adalah meyakini dengan pandangan mata hati bahwa tiada sekali-kali yang ada di alam ini memiliki nama, kecuali pada hakikatnya zat Allah saja, atau yang wujud dan punya nama hanya Allah saja. Segala nama yang ada di alam ini hanya zahir, karena tiap-tiap asma itu menuntut akan wujud musamma. Artinya yang wujud dan punya nama Allah saja dan wujud segala alam ini hanya khayal dan sangkaan saja serta nisbah kepada wujud Allah, AsmaNya itu kembali kepada wujud-Nya :
Artinya: “Maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah”.
Bila seseorang sudah musyahadah akan Esanya Allah pada asma, maka bila melihat ada orang yang pemurah, dikembalikanlah kepada Allah bahwa hanya Dia Yang Rahman. Bila melihat orang kaya, Allah jualah yang Maha Kaya (Ghani), demikian seterusnya pada qiyasan-qiyasan yang lain.[33]
Himpunan sekalian asma itu ada dua. Pertama jami’, artinya menghimpun sekalian mazhar pada asma, yang diistilahkan dengan:
Artinya: “Pandang yang banyak pada satu asma, maksudnya sekalian alam ini pada dasarnya dari Allah jua”.
Kedua ma’ani, menegahkan, yaitu tertegahnya sekalian mazhar mempunyai nama. Terbitnya dari Allah juga, yang diistilahkan dengan:
Artinya: “Pandang yang satu pada yang banyak, yakni permulaannya dan kesudahannya pada Allah jua.”
Jadi dalam wahdaniyat asma ini, muslim melihat segala yang di alam ini dari Allah juga berasalnya dan kepada Allah pula kembalinya.
Ajaran ini boleh jadi asal muasalnya berupa pandangan serba Tuhan (Panteisme). Menurut Harun Nasution, Panteisme berarti seluruhnya Tuhan, bahwa seluruh kosmos ini Tuhan. Semua yang ada dalam keseluruhannya ialah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang ada dalam keseluruhannya. Benda-benda yang ditangkap oleh pancaindra adalah bagian dari Tuhan. Tuhan adalah immanent, berada dalam alam, bukan di luar. Karena seluruh kosmos ini satu, maka Tuhan dalam Panteisme juga satu, hanya menurut Panteisme Tuhan mempunyai bagian-bagian. Alam yang dilihat oleh panca indra hanya ilusi atau khayal saja, yang hak dan yang ada itu hanya Tuhan.[36]
Dilihat dari pengertian Panteisme di atas, maka nampak bahwa wahdaniyat al-Asma yang diajarkan oleh Abdurrahman Siddiq memang agak identik. Namun, wahdaniyat as-Asma yang diajarkan ini juga hanya ada dalam penyaksian batin (syuhudi), sehingga beliau mengajarkan syuhud al-katsrah fi al-wahdah dan syuhud al-wawdah fi al-katsrah. Pendapat ini agaknya dipengaruhi oleh beberapa pendapat, diantaranya Abu Bakar al-Syibli dan Imam al-Ghazali.
Al-Syibli pernah mengatakan, “Aku tidak pernah melihat sesuatu terkecuali Tuhan”. Sufi yang menganut pendapat demikian akan mengalami penghayatan wahdat al-syuhud dan tenggelam dalam mabuk cinta (rapture to love) kepada Allah. Apa saja yang dipandangnya tampak sebagai Tuhan.[37] Sementara dalam pandangan al-Ghazali wahdaniyat al-Asma ini berada dalam tingkatan tauhid martabat ketiga. Menurut al-Ghazali, pada martabat ini seseorang melihat segala yang banyak dalam alam ini pada hakikatnya terbit dari yang satu yaitu Allah. Tauhid tingkat ini juga disebut tauhid ahl al-kasyf atau tauhid martabat muqarrabin, sebab seorang sufi melakukan musyahadahnya dengan jalan kasyf. Orang yang mencapai tauhid ini mampu menyaksikan keesaan Tuhan dengan kasyf melalui perantaraan nur al-Haqq.[38]
Dengan demikian, ajaran tauhid al-Asma yang dikemukakan oleh Abdurrahman Siddiq sangat boleh jadi mengacu kepada pendapat al-Syibli dan al-Ghazali, yaitu wahdat al-syuhud. Walaupun ada kemiripan dengan Panteisme, kemungkinan itu hanya faktor kebetulan saja, sebab Abdurrahman Siddiq tidak mencantumkan pendapat para filosof di luar Islam sebagai acuan pendapatnya. Tauhid al-Asma ini juga bertujuan untuk memantapkan tauhid itu sendiri serta mencegah dari mengagumi sesuatu yang lain di luar Allah. Misalnya ketika melihat orang yang kaya ia tidak akan silau, sebab hanya Allah yang Maha Kaya dan Allah pulalah yang memberikan kekayaan pada orang tersebut.
Pada sisi lain, orang yang sampai pada tauhid al-Asma ini tidak lagi mementingkan harta benda dunia dengan berbagai nama ini dan tidak pula risau atau iri dengan orang yang memilikinya, sebab semuanya telah mampu dikembalikannya kepada Asma-Nya Allah.
c. Tauhid al-Sifat
Dalam wahdaniyat sifat, Abdurrahman Siddiq mengajarkan hanya Allah yang Esa pada segala sifat; dalam kudrat, iradat, ilmu, hayat, sama’, bashar, kalam dan sebagainya. Tidak ada zat lain yang punya sifat seperti sifatnya Allah. Kalaupun ada makhluk punya sifat itu hanya majaz, hakikatnya hanya sifat Allah.
Dengan memiliki dan meyakini wahdaniyat sifat ini, seorang hamba akan mampu mencapai maqam fana fillah dan baqa bisifatillah. Hamba akan beroleh ma’rifat dan Allah akan membukakan rahasia sifatNya yang mulia kepada hamba.
Pandangan demikian juga timbul karena penglihatan syuhudi, bukan dalam realitas. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa Abdurrahman Siddiq menghilangkan eksistensi makhluk dan khaliq. Pengarang hanya menekankan tauhid al-Sifat ini pada segi perasaan, zauqiyah. Orang yang mencapai tauhid jenis ini merasakan mereka kehilangan diri dan sifat-sifat mereka dan merasa menyatu dalam sifatNya Tuhan.
Wahdaniyat sifat yang dikemukakan oleh Abdurrahman Siddiq ini agaknya juga dipengaruhi oleh pendapat Junaid al-Baghdadi tentang tauhid orang khawas sebagaimana dikemukakan terdahulu. Puncak dari tauhid ini juga wahdat al-syuhud.[39]
Orang yang berhasil mencapai tauhid al-Sifat ini akan mengantarkannya kepada pengalaman dan penghayatan fana fillah. Fana, ecstasy, ini amat didambakan oleh para sufi. Orang yang mencapainya akan mengalami perubahan-perubahan: Pertama, peralihan moral dari sifat-sifat tercela dengan jalan pengendalian nafsu dan keinginannya. Kedua, lenyapnya kesadaran terhadap apa yang ada di sekeliling, baik pikiran, perbuatan dan perasaan, lantaran terhisap dalam penghayatan pada Tuhan, karena penghayatan hanya tertuju pada sifat-sifat Allah. Ketiga, lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya.[40]
Jadi orang yang mampu bertauhid sifat ini akan tenggelam perasaan, pikiran dan sifat-sifat dirinya dan semuanya terhisap atau tertuju pada sifat-sifat Tuhan saja. Orang tidak akan merasa ada makhluk yang kuasa, berilmu, berkehendak dan lain-lain, karena pemilik semua sifat-sifat utama hanya Allah saja, sebab hanya Allah yang amat berkuasa atas segala sesuatu.
Namun lebih jauh Abdurrahman Siddiq juga menekankan bahwa seseorang yang mampu meyakini tauhid al-Sifat ini selain beroleh keutamaan-keutamaan di atas, juga akan beroleh ilmu laduni, ilmu yang tidak diperoleh melalui belajar, ilmu yang tidak tergantung pada hapalan dalam kitab. Perolehan ilmu laduni lewat tauhid al-Sifat ini, selain mengacu kepada Alquran juga beliau sandarkan kepada pendapat Abu Yazid Bustami yang berkata kepada ulama zahir (non sufi): “Kamu ambil ilmu hai ulama zahir ilmu yang mati dari orang yang mati dan kami ambil ilmu kami dari Tuhan yang Hidup tiada pernah mati”.[41]
Jadi sandaran segala sifat hanya Allah juga dan manusia hanya memiliki sifat kelemahan, kepada Allah-lah tempat kembalinya semua sifat kesempurnaan.
d. Tauhid al-Zat
Dalam hal wahdaniyat zat, Abdurrahman Siddiq mengajarkan keyakinan bahwa tiada yang maujud di dalam maujud kecuali hanya Allah. Wujud manusia hanya khayal, semuanya akan fana dalam maujud Allah, seperti maujud dalam mimpi, setelah terbangun semua sirna, begitu juga maujud yang lain selain Allah.
Orang yang mampu mencapai tauhid keempat ini akan mampu menyelam dalam laut ahadiyatullah, mabuk dan tidak ingin siuman dari mabuknya. Ketika itu baginya habis fana fillah, hilangnya wujudnya dalam wujudnya Allah.
Paham ini sangat dekat kepada paham wahdat al-wujud dan hulul atau ittihad. Abu Yazid yang menjadi rujukan Abdurrahman Siddiq juga merupakan salah satu tokoh sufi yang cenderung kepada wahdat al-wujud melalui konsep ittihad yang diajarkannya. Saat Abu Yazid syathahat dan mengalami penghayatan ittihad (the unitive state) ia mengatakan: “Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku”. Dan masih banyak lagi ucapan syathahat lainnya yang menunjukkan Abu Yazid sedang ittihad atau manunggaling kawula Gusti.[42]
Tetapi menurut Abdurrahman Siddiq, semua keyakinan itu haruslah dalam pandangan zauqiyah (perasaan), bukan pandangan qauli dan lafzi, sebab semua pandangan panca indra lemah dan tidak kuasa menembus alam gaib. Hanya orang yang zauq (merasa) yang akan mendapat pengalaman tesebut. Karenanya beliau tetap memegang kepada syuhudul katsrah fil wahdah dan syuhudul wahdah fil katsrah.
Dengan demikian, paham wahdaniyat zat yang dikemukakan oleh Abdurrahman Siddiq, meski sangat dekat dengan ittihad dan wahdat al-wujud, namun beliau menempatkannya dalam wahdat al-syuhud saja. Walaupun mengacu kepada beberapa pendapat Abu Yazid Bustami, namun Abdurrahman Siddiq sendiri tidak pernah mengucapkan kata-kata syathahat, seperti yang pernah diucapkan oleh Abu Yazid Bustami ataupun sufi yang lain. Beliau tetap teguh memperpegangi prinsip bahwa Allah itu tidak sama dengan sesuatu apapun, serta baqanya zat Allah, sedangkan semua makhluk lain akan fana.
Jadi dari dari keempat tingkat tauhid di atas, yakni wahdaniyat af’al, asma, sifat, dan zat yang beliau kenalkan semuanya mengacu kepada pendapat ulama sufi terdahulu seperti pendapat asy-Syibli, al-Baghdadi dan al-Ghazali dengan konsep wahdat al-syuhud. Walau pada tingkat wahdaniyat zat pandangan Abdurrahman Siddiq sangat dekat dengan wahdat al-wujud, namun tetap aspek syuhudi yang ditekankannya. Jadi wahdat itu bukan fakta, bukan pada qauli dan lafzi, tapi pada zauqi saja.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep tauhid sufistik menurut Abdurrahman Siddiq merupakan perpaduan antara tauhid dan tasawuf, dengan mengenalkan konsep wahdaniyat af’al, wahdaniyat asma, wahdaniyat sifat dan wahdaniyat zat.
2. Keempat bentuk wahdaniyat ini sarat dengan tasawuf falsafi yang bermuatan wahdat al-syuhud banyak dipengaruhi oleh pendapat Abu Bakar al-Syibli, Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali. Pada wahdaniyat zat, beliau hampir saja mendekati wahdat al-wujud. Namun beliau tetap menekankan bahwa wahdaniyat al-Zat itu hanya pada dimensi zauqi, bukan qauli dan lafzi, sehingga beliau tidak pernah mengucapkan kata-kata syathahat sebagaimana pernah diucapkan Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj atau Ibnu Arabi. Melalui wahdaniyat af’al diharapkan manusia tidak syirik, ujub dan riya dengan af’alnya, karena pada hakikatnya hanya Allah yang memiliki af’al, sebab Allah tidak saja menciptakan manusia tapi juga menciptakan af’al manusia. Melalui wahdaniyat asma diharapkan manusia tidak silau oleh nama dan beragam nama yang ada pada makhluk dan yang dipunyai makhluk, sebab hakikatnya hanya Allah yang mempunyai nama-nama kesempurnaan. Melalui wahdaniyat sifat diharapkan manusia tidak sombong dengan sifat-sifat dan kelebihannya, sebab hanya Allah yang memiliki segala sifat kesempurnaan. Kemudian melalui wahdaniyat zat, diharapkan mata hati manusia menyatu dengan zat Allah, sehingga segala pikiran, perasaan dan perbuatan terkonsentrasi pada zat Allah saja, tapi bukan menyatu dengan Allah dalam bentuk wahdat al-wujud atau manunggal dengan Tuhan.
Berkenaan dengan Pemikiran Tasawuf Syekh Abdurrahman Siddiq (Telaah Atas Kitab Amal Ma’rifah), disarankan hal-hal sebagai berikut :
1. Penulis walaupun berusaha meneliti lebih menyeluruh, mulai dari biografi, keadaan naskah kitab sampai kepada konsep tauhid sufistik dan tasawuf yang terkandung di dalamnya, tidaklah berarti kajian penulis sudah sempurna, sehingga penelitian-penelitian lanjutan tetap diperlukan.
2. Ajaran tauhid Abdurrahman Siddiq memang perlu dipelajari dipahami dan dihayati oleh umat, namun hendaknya terbatas bagi kalangan menengah ke atas saja yang penghayatan tauhid, i’tikad, dan pengamalan syariatnya sudah memadai. Bagi orang awam yang tauhid, i’tikad, dan syariatnya belum matang hendaknya dihindarkan dari mempelajari isi kandungan kitab Amal Ma’rifah ini, sebab dapat berakibat terabaikannya syariat serta terganggunya akidah.
3. Ajaran tauhid yang dikemukakan oleh Abdurrahman Siddiq hendaknya dipahami dalam konteks tasawuf akhlaki dan amali, sehingga dalam menghayati tingkatan-tingkatan tauhid, seseorang tetap konsisten menempuh maqamat-maqamat akhlak tasawuf yang terpuji dan tetap mengutamakan pengamalan syariat. Tegasnya pemahaman tauhid harus secara total dan berintegrasi dengan syariat dan hakikat (tasawuf), sehingga tidak terjadi pengabaian salah satunya.
buku yang sangat luar biasa
BalasHapusmaaf...kutipan ayat As-Shoffaat/37: 96 yang benar:
BalasHapusPadahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
di atas kutipannya kelebihan "karenanya sembahlah Dia dan esakanlah Dia."
kemunkinan itu tafsirnya, namun kalau tafsirnya kan harus di dalam kurung.
wallohu a'lam.